Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Akbar Tanjung | |
---|---|
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ke-13 | |
Masa jabatan 6 Oktober 1999 – 1 Oktober 2004 | |
Ketua Umum Partai Golongan Karya ke-7 | |
Masa jabatan 11 Juli 1998 – 19 Desember 2004 | |
Menteri Sekretaris Negara Indonesia ke-6 | |
Masa jabatan 23 Mei 1998 – 20 Oktober 1999 | |
Presiden | B. J. Habibie |
Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Pemukiman Indonesia ke-3 | |
Masa jabatan 17 Maret 1993 – 21 Mei 1998 | |
Presiden | Soeharto |
Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Indonesia ke-5 | |
Masa jabatan 21 Maret 1988 – 17 Maret 1993 | |
Presiden | Soeharto |
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia | |
Masa jabatan 1 Oktober 1999 – 1 Oktober 2004 | |
Daerah pemilihan | DKI Jakarta |
Masa jabatan 1 Oktober 1977 – 21 Maret 1988 | |
Pengganti Potsdam Hutasoit | |
Daerah pemilihan | Jawa Timur |
Informasi pribadi | |
Lahir | 14 Agustus 1945 Sorkam, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Hindia Jepang |
Partai politik | Partai Golongan Karya |
Suami/istri | Krisnina Maharani |
Hubungan | Usman Zahiruddin Tandjung (kakak) |
Anak | 4 |
Almamater | Universitas Indonesia Universitas Gadjah Mada |
Pekerjaan | Politikus |
Sunting kotak info • L • B |
Ir. Djandji Akbar Zahiruddin Tandjung (lahir 14 Agustus 1945), lebih sering disebut Akbar Tandjung, adalah seorang politikus Indonesia yang menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari 1999 hingga 2004. Sebagai anggota Partai Golongan Karya (Golkar), ia juga menjabat sebagai ketua umum partai dari 1999 hingga 2004, dan menjadi anggota DPR RI dari Jawa Timur dari 1977 hingga 2004. Akbar menyelesaikan disertasi tingkat doktor dalam bidang Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2007[1][2].
Ia menjabat sebagai menteri di bawah mantan presiden Soeharto dan Bacharuddin Jusuf Habibie. Dia adalah Ketua DPR-RI dari 1999 hingga 2004. Pada 2002 ia dihukum karena korupsi atas penggelapan dana yang ditujukan untuk bantuan makanan bagi orang miskin, tetapi hukuman itu dibatalkan di tingkat banding pada tahun 2004.[3]