Artikel ini memiliki beberapa masalah. Tolong bantu memperbaikinya atau diskusikan masalah-masalah ini di halaman pembicaraannya. (Pelajari bagaimana dan kapan saat yang tepat untuk menghapus templat pesan ini)
|
Bahasa Isan atau Thai Timur Laut (bahasa Thai: ภาษาอีสาน, ภาษาไทยถิ่นตะวันออกเฉียงเหนือ, ภาษาไทยถิ่นอีสาน, ภาษาไทยอีสาน, ภาษาลาวอีสาน) mengacu pada perkembangan bahasa Lao setempat di Thailand setelah perpecahan politik dunia berbahasa Lao di Sungai Mekong dengan tepi kiri yang pada akhirnya menjadi Laos modern dan tepi kanan menjadi wilayah Isan di Thailand (sebelumnya dikenal sebagai Siam hingga tahun 1932) setelah Perang Prancis-Siam berakhir pada tahun 1898. Bahasa ini masih disebut sebagai bahasa Lao oleh penutur jati.[6] Sebagai turunan bahasa Lao, Isan juga merupakan bahasa Lao-Phuthai cabang bahasa Tai Barat Daya dalam rumpun bahasa Tai-Kadai, yang paling dekat hubungannya dengan bahasa induknya Lao dan bahasa 'suku' Tai, seperti Phuthai dan Tai Yo. Isan digolongkan sebagai dialek bahasa Thai oleh pemerintah Thai secara resmi, walaupun bahasa Thai adalah bahasa Thai Barat Daya yang terkait erat dan termasuk dalam rumpun bahasa Chiang Saen. Bahasa Thai dan Lao (termasuk Isan) sulit dipahami antara satu sama lain, karena walaupun kedua bahasa ini sama-sama memiliki lebih dari 80% kosakata serumpun, bahasa Lao dan Isan mempunyai pola nada yang sangat berbeda, mutu vokal, cara bertutur, dan banyak kata yang sangat umum digunakan berbeda dari bahasa Thai sehingga menghambat antarpemahaman tanpa paparan sebelumnya.[7]
Bahasa Lao telah lama ada di Isan karena tiba dengan para pendatang yang melarikan diri dari Tiongkok Selatan dan mengikuti lembah sungai ke Asia Tenggara sekitar abad ke-8 sampai abad ke-10. Menurut yang tertulis, wilayah yang kini disebut Laos dan Isan dipersatukan di bawah kerajaan Lao Lan Xang, (1354–1707). Setelah kejatuhan Lan Xang, kerajaan pecahan Lao menjadi negara bagian pembayar upeti Siam. Migrasi paksa Lao dari tepi kiri ke tepi kanan yang kini disebut Isan selama akhir abad ke-18 dan sebagian besar abad ke-19 dilakukan oleh tentara Siam yang ingin melemahkan kekuatan kerajaan Lao, membuat orang terkesan karena perbudakan, proyek corvée, melayani tentara Siam atau mengembangkan Dataran Tinggi Khorat yang kering untuk pertanian guna memberi makan penduduk yang terus berkembang. Sebagai hasil pergerakan besar-besaran, penutur bahasa Lao mencakup hampir sepertiga penduduk Thailand dan mewakili lebih dari 80% penduduk penutur bahasa Lao secara keseluruhan. Bahasa ini dituturkan secara asli oleh sekitar 13-16 juta (2005) orang Isan, walaupun jumlah penduduk penutur bahasa Isan, termasuk orang Isan di daerah Thailand yang lain, dan yang menuturkannya sebagai bahasa kedua, mungkin melebihi 22 juta.[1][2]
Bahasa Lao di Thailand dilestarikan karena jumlah penduduk wilayah Isan yang besar, pergunungan yang memisahkan wilayah tersebut dari bagian lain negara, budaya konservatif, dan penghargaan etnik terhadap tradisi setempat mereka. Bahasa ini dilarang untuk disebut sebagai bahasa Lao secara resmi dalam dokumen resmi Thailand pada pergantian abad ke-20. Undang-undang asimilasi tahun 1930-an yang mempromosikan nasionalisme Thailand, budaya Thailand Tengah, dan penggunaan bahasa Thai Baku secara wajib menyebabkan sebagian besar penduduk di wilayah itu menjadi dwibahasawan dan memandang diri mereka sebagai warga Thailand dan memulai situasi diglosia. Bahasa Thai Baku adalah satu-satunya bahasa pendidikan, pemerintahan, media nasional, pengumuman umum, pemberitahuan resmi, dan penulisan umum, dan bahkan dalam pertemuan semua orang Isan dipaksa menggunakan bahasa Thai jika dilakukan dalam konteks resmi atau umum, menggunakan bahasa Isan sebagai bahasa rumah, ekonomi agraria, dan kehidupan wilayah. Aksara Tai Noi juga dilarang sehingga menjadikan bahasa Isan sebagai bahasa lisan, walaupun sistem ad hoc menggunakan aksara Thai dan ejaan kata-kata serumpun digunakan dalam komunikasi tidak formal.[7]
Isan juga merupakan daerah pertanian dan salah satu daerah termiskin, terbelakang di Thailand dengan banyak orang Isan yang memiliki pendidikan rendah sering berangkat ke Bangkok atau kota lain dan bahkan bekerja ke luar negeri sering dipekerjakan sebagai buruh, pembantu rumah tangga, juru masak, pengemudi taksi, buruh bangunan, dan pekerjaan kasar yang lain. Hal tersebut telah memicu tanggapan negatif tentang bahasa tersebut karena digabungkan dengan prasangka terbuka bersejarah terhadap orang-orang Isan dan bahasa mereka. Sejak pertengahan abad ke-20, bahasa ini telah mengalami releksifikasi yang lambat oleh bahasa Thai atau peralihan bahasa ke bahasa Thai sama sekali yang mengancam daya hidup bahasa ini, terlepas dari penggunaannya yang kuat.[8][9] Namun, dengan sikap terhadap budaya daerah yang menjadi lebih santai pada akhir abad ke-20 dan seterusnya, peningkatan penelitian bahasa oleh akademisi Thai di universitas Isan dan sikap politik etnik yang sering bertentangan dengan Bangkok, beberapa upaya mulai berakar untuk membantu membendung menghilangnya bahasa ini secara perlahan-lahan, yang didorong oleh kesadaran dan penghargaan yang tumbuh terhadap budaya, kesusastraan, dan sejarah setempat.[7][10]