Uni Eropa |
Artikel ini adalah bagian dari seri: |
Kebijakan dan masalah
|
Bagian dari seri artikel mengenai |
Britania Raya di Uni Eropa |
---|
Keanggotaan
|
|
Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa (UE), biasa disingkat Brexit (lakuran "Britain" dan "exit"),[1] adalah penarikan diri Britania Raya dari Uni Eropa sebagai hasil dari referendum Brexit yang diadakan pada Kamis 23 Juni 2016, referendum Brexit ini diadakan untuk memutuskan apakah Britania Raya harus meninggalkan keanggotaannya atau tetap tergabung dalam Uni Eropa.[1] Referendum ini diikuti oleh 30 juta pemilih, yang berarti partisipasi total di dalamnya mencapai 71,8% dari penduduk yang memiliki hak pilih di Britania Raya, hasilnya sendiri adalah 51,9% memilih untuk keluar dari Uni Eropa dan 48,1% memilih untuk tetap tergabung dengan Uni Eropa.[1]
Britania Raya menarik diri dari Uni Eropa pada pukul 11 malam GMT pada tanggal 31 Januari 2020, memulai periode transisi yang akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2020. Selama periode transisi 11 bulan, Britania Raya dan Uni Eropa akan menegosiasikan hubungan masa depan mereka. Britania Raya tetap tunduk pada Hukum Uni Eropa dan tetap menjadi bagian dari Uni Pabean Uni Eropa dan Pasar Tunggal Eropa selama periode transisi, tetapi tidak lagi terwakili dalam badan atau lembaga politik Uni Eropa.
Sebagai salah satu tahapan untuk secara resmi meninggalkan Uni Eropa, Britania Raya diharuskan untuk meminta digunakannya Artikel 50 dari Perjanjian tentang Uni Eropa kepada Dewan Eropa, dan pada 29 Maret 2017, pemerintah Britania Raya resmi menggunakan Artikel 50 dan mengajukan penarikan diri kepada Dewan Uni Eropa.[2] Sesuai dengan aturan yang tertulis dalam Artikel 50 mengenai waktu tenggang yang diberikan untuk negara yang berencana keluar dari Uni Eropa, Britania Raya diberikan waktu hingga tepat pada tengah malam tanggal 30 Maret 2019, Waktu Eropa Tengah, untuk secara resmi meninggalkan Uni Eropa [2]
Pada 17 Januari 2017, Perdana Menteri Theresa May mengumumkan 12 pokok rencananya untuk meninggalkan Uni Eropa, May juga sekaligus memastikan bahwa nantinya Britania Raya tidak akan lagi tergabung dalam Pasar Tunggal dan Serikat Pabean Uni Eropa.[3][4] Bersamaan dengan itu, May juga berjanji untuk mencabut Undang-Undang Masyarakat Eropa tahun 1972, dan menggabungkan semua hukum dan aturan Uni Eropa yang masih berlaku ke dalam hukum dan aturan Britania Raya.[5] May membentuk kementerian sendiri untuk mengatur mundurnya Britania Raya dari Uni Eropa, kementerian ini diberi nama Departemen untuk Keluar dari Uni Eropa (Department for Exiting European Union—DExEU) dan diresmikan pada Juli 2016, May juga menunjuk David Davis sebagai Sekretaris Negara memimpin departemen tersebut.[6] Perundingan antara pemerintah Britania Raya dan Uni Eropa pada akhirnya resmi dimulai pada 19 Juni 2017.[1]
Menilik dari sejarahnya, Britania Raya sendiri mulai bergabung dalam Komunitas Eropa pada tahun 1973, meski begitu terdapat dorongan untuk melakukan referendum dari banyak pihak yang tidak setuju apabila Britania Raya bergabung dalam Komunitas Eropa, sehingga pada tahun 1975 diadakan referendum 1975, tetapi hasil dari referendum tersebut justru memenangkan pihak yang setuju untuk bergabung sehingga semakin melegitimasi kebijakan Britania Raya untuk tetap tergabung dalam Komunitas Eropa.[7] Di era 1970-an dan 1980-an, wacana untuk mengundurkan diri dari Komunitas Eropa utamanya banyak digalang oleh anggota dan tokoh-tokoh dari Partai Buruh dan Serikat Buruh.[8] Mulai era 1990-an, pendukung kuat dari wacana ini adalah Partai Kemerdekaan Britania Raya (UKIP) dan anggota-anggota dari Partai Konservatif yang memiliki pandangan "Eurosceptic".[8]
Untuk efek Brexit ini sendiri dalam jangka pendek, terdapat penelitian yang berfokus pada pengaruh kebijakan Brexit sejak diadakannya referendum hingga Juli 2017, penelitian ini mengungkapkan bahwa Britania Raya mengalami kerugian tahunan sebesar £404 untuk tiap rumah tangga rata-rata, kemudian menurunnya nilai mata uang pound sterling di mana nilai pound sterling masih 10% di bawah nilai sebelum referendum, lalu meningkatnya inflasi hingga 1,7%.[9] Banyak pakar riset ekonomi dunia yang beranggapan bahwa keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa ini akan memiliki efek terhadap perekonomian Britania Raya, mereka memprediksi bahwa langkah Britania Raya ini akan mengurangi pendapatan riil per kapita Britania Raya dalam jangka menengah dan panjang.[10][11] Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa juga diprediksi akan menurunkan jumlah pendatang dari negara-negara Area Ekonomi Eropa ke Britania Raya,[12] dan hal ini dapat berimplikasi kepada pendidikan tinggi dan riset akademis di Britania Raya.[13] Dampak persis, keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa sendiri masih harus melihat apakah keluaran ini terjadi dengan cara keras (Hard Brexit) yang berarti tidak terjadi kesepakatan sama sekali antara Britania Raya dan Uni Eropa, atau cara lunak (Soft Brexit) di mana masih terdapat hak-hak yang dapat dinikmati oleh Britania Raya meskipun telah keluar dari Uni Eropa.[14]
finding economists who say they believe that a Brexit will spur the British economy is like looking for a doctor who thinks forswearing vegetables is the key to a long life
The results I summarize in this section focus on long-run effects and have a forecast horizon of 10 or more years after Brexit occurs. Less is known about the likely dynamics of the transition process or the extent to which economic uncertainty and anticipation effects will impact the economies of the United Kingdom or the European Union in advance of Brexit.
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama :3