Bagian dari seri tentang |
Buddhisme |
---|
Agama Buddha dan ilmu pengetahuan telah semakin diperbincangkan sebagai dua hal yang serasi, dan agama Buddha telah memasuki dialog ilmu pengetahuan dan agama.[1] Hal tersebut didorong bahwa ajaran-ajaran filosofis dan psikologis dalam agama Buddha berbagi kesamaan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis modern. Misalnya, agama Buddha mendorong penyelidikan terhadap esensi yang netral (suatu tindakan yang disebut sebagai Dhamma-Vicaya dalam Kanon Pāli), objek utama penelitian adalah diri sendiri. Pada tahun 1993 sebuah model yang disimpulkan dari teori perkembangan kognitif Jean Piaget diterbitkan berpendapat bahwa Buddhisme merupakan suatu cara berpikir keempat[2] di luar kekuatan gaib, ilmu pengetahuan, dan agama.[3]
Agama Buddha telah digambarkan oleh beberapa kalangan sebagai rasional dan nondogmatis, dan terdapat bukti bahwa ini merupakan argumen dari periode paling awal dalam sejarahnya,[4] meskipun beberapa kalangan mengemukakan aspek ini diberi penekanan yang lebih besar di zaman modern dan sebagian merupakan penafsiran ulang.[5] Tidak semua bentuk agama Buddha menghindari dogma, tetap netral pada subjek supranatural, atau terbuka untuk penyingkapan-penyingkapan ilmiah. Agama Buddha merupakan sebuah tradisi dan aspek-aspek yang bervariasi mencakup fundamentalisme,[6] tradisi kebaktian,[7] dan permohonan kepada spirit lokal.[8] Namun demikian, beberapa kesamaan telah disebutkan antara penyelidikan ilmiah dan pemikiran Buddhis. Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14, dalam pidatonya pada pertemuan Society for Neuroscience,[9] mencantumkan "kecurigaan absolut" dan ketergantungan pada kausalitas dan empirisme sebagai prinsip filosofis umum yang dimiliki bersama antara agama Buddha dan ilmu pengetahuan.[10]