Demang Lehman

Infobox orangDemang Lehman

Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran(bjn) Idies Edit nilai pada Wikidata
1832 Edit nilai pada Wikidata
Martapura Edit nilai pada Wikidata
Kematian27 Februari 1864 Edit nilai pada Wikidata (31/32 tahun)
Martapura Edit nilai pada Wikidata
Penyebab kematianHanging (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanassistant (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Lain-lain
Gelar bangsawanMangkunegara Galat: Kedua parameter tahun harus terisi! Edit nilai pada Wikidata

Demang Lehman yang bergelar Adhipattie Mangko Nagara (Adipati Mangku Negara)[1] (lahir di Martapura tahun 1832[2][3] - meninggal di Martapura tanggal 27 Februari 1864 pada umur 32 tahun) adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar.[4][5][6] Dia terlahir dengan nama Idris[2][7] Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar. Demang Lehman semula merupakan seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah II sejak tahun 1857. Oleh karena kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya jasa sebagai panakawan dari Pangeran Hidayatullah II, dia diangkat menjadi Kiai sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan (tanah lungguh Pg. Hidayatullah II).[7] Demang Lehman memegang pusaka kasultanan Banjar yaitu Keris Singkir dan sebuah tombak bernama Kaliblah yang berasal dari Sumbawa.[8][9]

Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri almarhum Sultan Adam, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayatullah II, bahwa kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan memberi bantuan kepada Tumenggung Abdul Jalil (Kiai Adipati Anom Dinding Raja) berupa 20 pucuk senapan. Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang Lehman mendapat tugas yang lebih berat yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pambakal Sulil atau Sulaiman di daerah Barito (Tanah Dusun), Kiai Langlang, dan Syaikh Buya Yasin di daerah Tanah Laut.

Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah di bawah pimpinan Pangeran Antasari yang berahsil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan menyerbu pos-pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron diserang oleh pasukan Antasri pada tanggal 28 April 1859. Di samping itu, kawan-kawan seperjuangan Pangeran Antasari juga telah mengadakan penyerangan terhadap pasukan-pasukan Belanda yang dijumpai. Pada saat pangeran Antasari mengepung benteng Belanda di Pengaron, Kiai Demang Lehman dengan pasukannya telah bergerak disekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng Belanda di Pengaron. Bersama-sama dengan Haji Nasrun, pada tanggal 30 Juni 1859, kiai Demang Leman menyerbu pos Belanda yang berada di istana Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 bersama Syaikh Buya Yasin dan Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio.

Pada tanggal 27 September 1859 pertempuran terjadi juga di benteng Gunung Lawak yang dipertahankan oleh Kiai Demang Lehman dan kawan-kawan. Dalam pertempuran ini kekuatan pasukan Kiai Demang Leman ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan musuh sehingga ia terpaksa mengundurkan diri. Karena rakyat berkali-kali melakukan penyerangan gerilya, Belanda setalah beberapa waktu lamanya menduduki benteng tersebut, kemudian merusak dan meninggalkannya. Sewaktu meninggalkan benteng, pasukan Belanda mendapat serangan dari pasukan Kiai Demang Lehman yang masih aktif melakukan perang gerilya di daerah sekitarnya.

Upaya dan proses penangkapan Demang Lehman ini diungkapkan dalam Persidangan Pengadilan Demang Lehman, oleh para saksi. Mereka yang menjadi saksi adalah Brahim (Ibrahim) dan tahanan yang bernama Sambarani dan Singoprojo serta komplotannya.

Mereka mengungkapkan bahwa pada hari yang ditetapkan mereka mereka mendapat tugas khusus. Mereka telah menerima panggilan dari Kepala Wilayah Batu Licin (Syarif Hamid bin Pangeran Syarif Ali) agar melakukan segala upaya dengan tujuan untuk menangkap dan menyerahkan tersangka Demang Lehman yang berbahaya dalam kondisi hidup.

Pada sumber versi lain yang berbeda, dituliskan bahwa Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, Negeri Batulicin, Tanah Bumbu. Waktu itu ia bersama Tumenggung Aria Pati bersembunyi di gua Gunung Pangkal dan hanya memakan daun-daunan. Oleh seorang yang bernama Pembarani diajak menginap di rumahnya.

Karena tergiur imbalan gulden dari Belanda, seseorang bernama Pembarani bekerjasama dengan Syarif Hamid bin Pangeran Syarif Ali dan anak buahnya yang sudah menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman atas perintah Belanda. Demang Lehman tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya.

Oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan salat Subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Ia sempat sendirian melawan puluhan orang yang mengepungnya. Atas keberhasilan penangkapan ini Syarif Hamid bin Pangeran Syarif Ali Sebamban akan diangkat sebagai raja (Pangeran) tetap di Batulicin. [10]

  1. ^ (Indonesia)Kiai Bondan, Amir Hasan (1953). Suluh Sedjarah Kalimantan. Bandjarmasin: Fadjar. 
  2. ^ a b (Indonesia)Rosa, Helvy Tiana (2008). Bukavu. PT Mizan Publika. ISBN 9789791367332.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan) 791-367-33-7
  3. ^ (Indonesia) Tamar Djaja, Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air, Jilid 2, Bulan Bintang, 1965
  4. ^ (Indonesia)Indonesia, Departemen Penerangan (1955). Republik Indonesia: Kalimantan. Kementerian Penerangan. 
  5. ^ (Indonesia)Widjaya, Roebaie (1962). Merdeka: tjerita rakjat. Djajamurni. 
  6. ^ van Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863: met portretten, platen en een terreinkaart (dalam bahasa Belanda). 2. Arnhem: D. A. Thieme. 
  7. ^ a b (Indonesia)Usman, M. Gazali (1994). Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam. Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press. 
  8. ^ (Belanda) "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde". 14. Perpustakaan Negeri Bavarian. 1864: 503. 
  9. ^ G. Kolff (1866). "Notulen van de algemeene en directie-vergaderingen" (dalam bahasa Belanda). 3: 80. 
  10. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19. PT Balai Pustaka. hlm. 280. ISBN 9794074101. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-22. Diakses tanggal 2014-05-22. ISBN 978-979-407-410-7

Developed by StudentB