Eksistensialisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang terutama diasosiasikan dengan beberapa filsuf Eropa abad ke-19 dan ke-20 yang sepaham (meskipun banyak perbedaan doktrinal yang mendalam[1][2][3]) bahwa pemikiran filsafat bermula dengan subjek manusia—bukan hanya subjek manusia yang berpikir, tetapi juga individu manusia yang melakukan, yang merasa, dan yang hidup.[4] Nilai utama pemikiran eksistensialis biasanya dianggap sebagai kebebasan, tetapi sebenarnya nilai tertingginya adalah autentisitas (keaslian).[5] Dalam pemahaman seorang eksistensialis, seorang individu bermula pada apa yang disebut sebagai "sikap eksistensial", yaitu semacam perasaan disorientasi, bingung, atau ketakutan di hadapan sebuah dunia yang tampaknya tidak berarti atau absurd.[6] Ada pula beberapa filsuf eksistensialis yang menganggap bahwa konten filsafat sistematis atau akademis tradisional terlalu abstrak atau jauh dari pengalaman konkret manusia.[7][8]
Dalam konteks definisi yang lebih sederhana, eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang menunjukkan interpretasi atas eksistensi keberadaan manusia dalam wujud konkret dan problematikanya.[9]
Soren Kierkegaard secara umum dianggap sebagai filsuf eksistensialis pertama,[1][10][11] meskipun ia tidak menggunakan istilah eksistensialisme. Ia berargumen bahwa setiap individu—bukan masyarakat atau agama—bertanggung jawab memberikan makna bagi hidup dan kehidupan, dan menghidupi makna tersebut secara jujur dan bergairah (secara "autentik").[12][13] Eksistensialisme menjadi populer setelah Perang Dunia II dan amat memengaruhi bidang-bidang di luar filsafat, termasuk teologi, drama, seni, sastra, dan psikologi.[14]