Era Victoria | |||
---|---|---|---|
1837–1901 | |||
Penguasa | Ratu Victoria | ||
Kronologi
|
Periode Anglo-Saxon | (927–1066) |
---|---|
Periode Norman | (1066–1154) |
Periode Plantagenet | (1154–1485) |
Periode Tudor | (1485–1603) |
Era Elizabeth | (1558–1603) |
Periode Stuart | (1603–1714) |
Era Jacob | (1603–1625) |
Era Charles | (1625–1649) |
Interregnum | (1649–1660) |
Era Restorasi | (1660–1688) |
Era George | (1714–1830) |
Era Victoria | (1837–1901) |
Era Edward | (1901–1910) |
Perang Dunia I | (1914–1918) |
Periode Antar Perang | (1918–1939) |
Perang Dunia II | (1939–1945) |
Britania Modern | (1945–Sekarang) |
Era Victoria dalam sejarah Britania Raya adalah periode pemerintahan Ratu Victoria dari 20 Juni 1837 sampai kematiannya pada 22 Januari 1901. Era ini ditandai oleh periode panjang perdamaian, kemakmuran, kejayaan Britania di kancah internasional, dan tingginya rasa percaya diri nasional warga Britania.[1] Beberapa pakar berpendapat bahwa kejayaan politik Britania pada era Victoria dimulai setelah disahkannya Undang-Undang Reformasi 1832. Era ini didahului oleh era George dan dilanjutkan oleh era Edward. Setengah periode era Victoria bertepatan dengan era Belle Époque Eropa dan Gilded Age Amerika Serikat.
Dalam bidang kebudayaan, terjadi transisi dari rasionalisme pada era George menuju romantisisme dan mistisisme yang berkaitan dengan agama, nilai sosial, dan seni.[2] Dalam hubungan internasional, era Victoria ditandai dengan periode panjang perdamaian, yang dikenal dengan Pax Britannica, serta kemakmuran ekonomi, sosial, industri, dan kejayaan kolonial Britania Raya di kancah internasional. Namun, hal-hal ini terganggu oleh pecahnya Perang Krimea pada tahun 1854. Pada akhir periode, terjadi Perang Boer di Afrika Selatan. Di dalam negeri, kebijakan pemerintah semakin liberal dengan pegeseran ke arah reformasi politik, reformasi industri, dan perluasan hak pilih. Dua tokoh penting yang muncul pada era ini adalah perdana menteri Edward Gladstone dan Benjamin Disraeli, yang secara tidak langsung turut berperan dalam perubahan sejarah Britania. Disraeli, yang menjadi favorit ratu, tergabung ke dalam faksi Tory, sedangkan saingannya, Gladstone, adalah seorang tokoh liberal yang juga dipercayai oleh Ratu. Ia turut berperan dalam proses pembuatan hukum pada era tersebut.[3]
Jumlah penduduk Inggris meningkat hampir dua kali lipat pada periode ini, dari yang sebelumnya berjumlah 16,8 juta pada 1851 menjadi 30,5 juta pada 1901. Pada saat ini juga London menjadi kota terbesar di dunia, sebelum dikalahkan oleh New York City pada 1935.[4] Sedangkan penduduk Skotlandia juga meningkat pesat dari 2,8 juta pada 1851 menjadi 4,5 juta pada 1901, sebagian besar adalah warga Irlandia (saat itu masih bagian dari Britania Raya), yang berbondong-bondong pindah ke Pulau Britania setelah Wabah Kelaparan Besar pada tahun 1850-an.[5] Pada waktu yang bersamaan, sekitar 15 juta emigran meninggalkan Kepulauan Britania dan menetap di Amerika Serikat dan jajahan Britania lainnya seperti Kanada dan Australia.[6]
Pada awal era Victoria, House of Commons dipimpin oleh dua faksi, yakni Whig dan Tory. Sejak 1850-an, faksi Whig jadi lebih condong ke arah Liberal; sedangkan Tory condong ke arah Konservatif. Partai-partai ini dipimpin oleh sejumlah negarawan terkemuka, termasuk Lord Melbourne, Sir Robert Peel, Lord Derby, Lord Palmerston, William Ewart Gladstone, Benjamin Disraeli, dan Lord Salisbury. Masalah politik yang belum terpecahkan sehubungan dengan kemerdekaan Irlandia berperan penting dalam kestabilan politik pada era Victoria di kemudian hari, terutama mengenai tindakan penyelesaian yang dilakukan oleh Gladstone. Akibat kebijakan politik pada era Victoria, Irlandia bagian selatan memperoleh kemerdekaan pada tahun 1922.