Federasi kongsi, juga dikenal sebagai demokrasi kongsi atau republik kongsi, merupakan negara dengan pemerintahan mandiri yang dibentuk dari gabungan kongsi pertambangan Tionghoa di Kalimantan. Hingga pertengahan abad ke-19, federasi kongsi mengendalikan sebagian wilayah di bagian barat Kalimantan. Republik Lanfang, Republik Heshun (Fosjoen), dan Federasi Santiaogou (Samtiaokioe) merupakan tiga federasi kongsi terbesar pada masa tersebut.[1]
Walaupun kongsi perdagangan lazim dibentuk oleh komunitas rantau Tionghoa di seluruh dunia, federasi-federasi kongsi yang ada di Kalimantan memiliki keunikan karena mereka merupakan negeri berdaulat dengan wewenang atas wilayah yang luas.[1] Karakteristik ini juga membedakan mereka dari kebanyakan kesultanan di Asia Tenggara, yang berwenang atas warga negara masing-masing, tetapi tidak mengendalikan wilayah yang didiami oleh warga negara tersebut.[1]
Persaingan antara federasi-federasi kongsi dan Belanda untuk menguasai Kalimantan berpuncak pada tiga konflik yang secara kolektif disebut sebagai Perang Kongsi pada tahun 1822–1824, 1850–1854, dan 1884–1885. Belanda pada akhirnya mengalahkan federasi-federasi kongsi ini dan melebur wilayah mereka ke dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.[2]
Pemerintahan federasi kongsi berbentuk demokrasi langsung.[3] Istilah "republik" untuk merujuk pada federasi kongsi pertama kali digunakan oleh penulis-penulis abad ke-19.[4] Namun, para sarjana modern berbeda pandangan mengenai apakah federasi kongsi dapat dianggap sebagai republik seperti dalam tradisi Barat atau merupakan tradisi demokrasi Tionghoa yang dikembangkan secara terpisah.[5]