Perpaduan Islam dan feminisme diadvokasikan sebagai "kepentingan feminis dan praktik yang diatur dalam paradigma Islam" oleh Margot Badran pada 2002.[1] Para feminis Islam mendasarkan argumen mereka dalam Islam dan ajarannya,[2] memperjuangkan kesetaraan penuh wanita dan pria dalam lingkup pribadi dan publik, dan dapat melibatkan non-Muslim dalam kepentingan dan debat. Feminisme Islam diartikan oleh para cendekiawan Islam lebih radikal ketimbang feminisme sekuler[3] dan dilandaskan dalam kepentingan Islam dengan al-Qur'an sebagai kitab sucinya.[4]
Sebagai "mazhab pemikiran", gerakan tersebut dikatakan merujuk kepada sosiolog Maroko "Fatima Mernisi dan para cendekiawati seperti Amina Wadud dan Leila Ahmed".[5]