Filsafat Mesir Kuno

Ada sejumlah perdebatan seputar filsafat Mesir Kuno, maupun ruang lingkup sejati dan hakikatnya.[1]

Beberapa filsuf Yunani Kuno menganggap Mesir sebagai gudang hikmat dan filsafat. Isokrates (lahir tahun 436 SM) mengemukakan di dalam Busiris bahwa "semua orang sependapat kalau bangsa Mesir itu salah satu bangsa tersehat dan terpanjang umurnya di antara umat manusia, sedangkan untuk kesehatan jiwa mereka menyelenggarakan pendidikan filsafat…"[2] Isokrates mengemukakan pula bahwa para pujangga Yunani berkunjung ke Mesir untuk menimba ilmu. Salah seorang di antara mereka adalah Pitagoras orang Samos, yang menurut Isokrates adalah orang "pertama yang membawa pulang seluruh filsafat demi kemaslahatan bangsa Yunani."

Platon mengemukakan di dalam Faidros bahwa dewa Mesir Tout "menciptakan angka-angka dan ilmu berhitung… dan teristimewa aksara.”[3] Di dalam Timaios, Sokrates mengutip perkataan orang bijak Mesir Kuno kepada Solon ketika cendekiawan penggagas undang-undang Yunani itu berkunjung ke Mesir untuk menimba ilmu. "Solon, wahai Solon, kalian orang Yunani senantiasa adalah anak-anak."[4] Aristoteles membuktikan anggapan bangsa Yunani tentang Mesir sebagai negeri asal hikmat kebijaksanaan ketika mengungkapkan di dalam Politika bahwa "bangsa Mesir dikenal sebagai yang tertua di antara bangsa-bangsa, tetapi mereka senantiasa memiliki undang-undang dan tata negara."[5]

Tokoh Mesir yang kerap dianggap sebagai salah seorang filsuf terdahulu adalah Ptahhotep,[6] mangkubumi Mesir sekitar akhir abad ke-25 atau awal abad ke-24 SM. Ptahhotep dikenal karena karya tulisnya yag komprehensif mengenai perilaku etis dan filsafat moral dengan judul Kata-Kata Mutiara Ptahhotep. Karya tulis yang diperkirakan disusun oleh Ptahhotep Tjefi, cucunya ini adalah bunga rampai yang terdiri atas 37 surat atau kata-kata wejangan dari Ptahhotep untuk putranya, Akhetotep, dan menyentuh topik-topik seperti perilaku sehari-hari dan amalan-amalan etis.[7][8]

Di dalam makalah yang disiapkan untuk Asosiasi Filsafat Amerika, sebuah karya tulis setua 3200 tahun yang dikenal dengan judul "Kebakaan Para Pujangga" atau "Jadilah Pujangga" (ca. 1200 SM) disebut sebagai "contoh luar biasa dari filsafat Mesir klasik."[9] Karya tulis yang menurut Dag Herbjørnsrud berasal dari pujangga Irses ini memuat pernyataan sebagai berikut:

Manusia mati, jasadnya menjadi debu, semua kerabatnya kembali ke tanah. Namun karya-karya tulis membuat dirinya terkenang di mulut pembaca. Sebuah pustaka lebih berfaedah daripada rumah maupun candi pendarmaan yang dibangun kukuh, lebih baik daripada wisma pesanggrahan lawas maupun tugu prasasti di dalam kuil. [...] Mereka menghargai pustaka laksana pendeta japa, dan papan tulis laksana putra berbakti. Wejangan-wejangan adalah wastu-wastu kuburan mereka, tangkai-tangkai kalam adalah anak-anak mereka, batu pengupam adalah istri mereka. Baik besar maupun kecil mereka perlakukan sebagai anak-anak mereka, karena pujangga adalah sang pemimpin.[10]

Dag Herbjørnsrud mengemukakan dalam tulisannya sebagai berikut:

"Pada tahun 2018, proyek-proyek penerjemahan beberapa karya tulis Mesir Kuno dilaksanakan untuk pertama kalinya. Meskipun demikian, sudah tersedia banyak sekali ragam sastra untuk dipilih dalam rangka mengkaji naskah-naskah tersebut dari perspektif filsafat: Banyaknya kata-kata bijak di dalam “Wejangan Ptahhotep”, naskah lestari tertua karya mangkubumi zaman kulawangsa kelima dari abad ke-19 SM yang memuat nasihatnya bahwa orang hendaknya “menuruti kata hati”; “Wejangan Ani”, karangan seorang katib bersahaja dari kelas menengah pada abad ke-13 SM yang berisi nasihat untuk orang biasa; “Pemeo Dunia Usaha” karangan Kheti yang berusaha meyakinkan putranya, Pepi, supaya “mengasihi pustaka melebihi ibumu” karena tiada sesuatu pun “di dunia” ini sebaik menjadi seorang katib; mahakarya “Perbantahan Seorang Insan Dengan Ba-nya” dari abad ke-19 SM – tentang ratapan seorang insan yang mengasihani “derita hidup,” dan ditanggapi ba-nya (kepribadian atau jiwanya) dengan wejangan bahwa kehidupan itu baik adanya, dan sang insan lebih baik “merenungkan kehidupan” karena penguburanlah yang patut dikasihani – yang baru-baru ini dibahas Peter Adamson dan Chike Jeffers di dalam siniar mereka, “Africana Philosophy”. Atau kita dapat membaca karangan Amennakht (berkarya pada kurun waktu 1170–1140 SM), cendekiawan terkemuka di kota para katib, Dairul Madinah, yang mengajarkan bahwa “menamatkan pendidikan itu baik, lebih baik ketimbang aroma kembang seroja pada musim kemarau.”[9]
  1. ^ Juan José Castillos, Ancient Egyptian Philosophy, RSUE 31, 2014, 29-37.
  2. ^ "Isocrates, Busiris, section 22". www.perseus.tufts.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-27. Diakses tanggal 19 Juni 2019. 
  3. ^ "Plato, Phaedrus, section 274d". www.perseus.tufts.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-10. Diakses tanggal 19 Juni 2019. 
  4. ^ "Plato, Timaeus, section 21e". www.perseus.tufts.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-09. Diakses tanggal 19 Juni 2019. 
  5. ^ "Aristotle, Politics, Book 7, section 1329b". www.perseus.tufts.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-19. Diakses tanggal 19 Juni 2019. 
  6. ^ Fontaine, Carole R. "A Modern Look at Ancient Wisdom: The Instruction of Ptahhotep Revisited." The Biblical Archaeologist 44, no. 3 (1981): 155-60. doi:10.2307/3209606.
  7. ^ Browder, Anthony (1988). Nile Valley Contributions to Civilization. Karmaic Institute. 
  8. ^ Simpson, W. K., (penyunting) The Maxims of Ptahhotep. Las Vegas, Nevada: Evan Blythin, 1986.
  9. ^ a b Contributor, Blog (2018-12-17). "The Radical Philosophy of Egypt: Forget God and Family, Write!". Blog of the APA (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-16. Diakses tanggal 19 Juni 2019. 
  10. ^ "Writings from Ancient Egypt: Be a Writer". www.penguin.co.uk. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-09. Diakses tanggal 19 Juni 2019. 

Developed by StudentB