Giordano Bruno | |
---|---|
Lahir | Filippo Bruno Januari or Februari 1548 Nola, Kerajaan Napoli |
Meninggal | 17 Februari 1600 (umur 51–52) Rome, Negara Gereja |
Sebab meninggal | Dibakar hidup-hidup |
Era | Renaissance |
Aliran | Humanisme Renaisans Neopythagoreanisme |
Minat utama | Cosmology |
Gagasan penting | Cosmic pluralism |
Dipengaruhi | |
Giordano Bruno (/dʒɔːrˈdɑːnoʊ ˈbruːnoʊ/ ; Italia: [dʒorˈdaːno ˈbruːno]; bahasa Latin: Iordanus Brunus Nolanus; lahir Filippo Bruno, Januari atau Februari 1548 – 17 Februari 1600) adalah seorang biarawan, filsuf, matematikawan, penyair, ahli teori kosmologis, dan okultis Hermetik yang berasal dari Italia.[4] Dia dikenal atas teori kosmologisnya, yang secara konsepsual memperluas model heliosentrisme Copernicus. Dia menyatakan bahwa bintang-bintang adalah matahari yang jauh yang dikelilingi oleh planet-planetnya sendiri. Dia juga mengajukan kemungkinan kalau sejumlah dari planet-planet tersebut juga menampung kehidupan, sebuah posisi kosmologis yang dikenal sebagai pluralisme kosmik. Dia juga menyatakan bahwa alam semesta ini tidak terbatas dan tidak memiliki "pusat".
Sejak tahun 1593, Bruno mulai diadili atas tuduhan bidaah oleh Inkuisisi Romawi atas tuduhan penyangkalan beberapa doktrin inti Katolik, seperti neraka, Trinitas, keilahian Kristus, keperawanan Maria, dan transubstansiasi. Panteisme Bruno dianggap sebagai masalah yang serius oleh gereja,[5] begitupula pandangannya tentang perpindahan jiwa (reinkarnasi). Inkuisisi Roma menyatakan dia bersalah, dan Bruno dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup di Campo de' Fiori, Roma pada tahun 1600. Setelah kematiannya, ia memperoleh popularitas yang cukup besar. Para komentator abad ke-19 dan awal abad ke-20 menempatkannya sebagai martir bagi ilmu pengetahuan. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa pengadilan bidahnya bukanlah tanggapan terhadap pandangan kosmologisnya, tetapi lebih merupakan tanggapan terhadap pandangan religius dan kehidupan setelah kematiannya.[6][7][8][9][10] Sedangkan yang lainnya menganggap bahwa alasan utama dihukumnya Bruno oleh gereja adalah memang karena pandangan kosmologis-nya.[11] Kasus kematian Bruno dianggap sebagai tonggak sejarah pemikiran bebas dan kemunculan ilmu-ilmu sains yang baru.[12][13]
Selain kosmologi, Bruno juga banyak menulis tentang seni ingatan, sebuah teknik dan prinsip mnemonik yang terorganisasi. Sejarawan Frances Yates berpendapat bahwa Bruno sangat dipengaruhi oleh Empedokles, Neoplatonisme, Hermetisisme Renaisans, dan legenda seperti Kejadian seputar dewa Mesir Thoth.[14] Studi lain Bruno juga berfokus pada pendekatan kualitatif terhadap matematika dan penerapan konsep spasial geometri untuk bahasa.[15]
When Bruno states in De la causa that matter provides the extension of particulars, he follows Averroes.
For Bruno was claiming for the philosopher a principle of free thought and inquiry which implied an entirely new concept of authority: that of the individual intellect in its serious and continuing pursuit of an autonomous inquiry… It is impossible to understand the issue involved and to evaluate justly the stand made by Bruno with his life without appreciating the question of free thought and liberty of expression. His insistence on placing this issue at the center of both his work and of his defense is why Bruno remains so much a figure of the modern world. If there is, as many have argued, an intrinsic link between science and liberty of inquiry, then Bruno was among those who guaranteed the future of the newly emerging sciences, as well as claiming in wider terms a general principle of free thought and expression.
In Rome, Bruno was imprisoned for seven years and subjected to a difficult trial that analyzed, minutely, all his philosophical ideas. Bruno, who in Venice had been willing to recant some theses, became increasingly resolute and declared on 21 December 1599 that he 'did not wish to repent of having too little to repent, and in fact did not know what to repent.' Declared an unrepentant heretic and excommunicated, he was burned alive in the Campo dei Fiori in Rome on Ash Wednesday, 17 February 1600. On the stake, along with Bruno, burned the hopes of many, including philosophers and scientists of good faith like Galileo, who thought they could reconcile religious faith and scientific research, while belonging to an ecclesiastical organization declaring itself to be the custodian of absolute truth and maintaining a cultural militancy requiring continual commitment and suspicion.