Hamka

Abdul Malik Karim Amrullah
عبد الملك کریم عمرالله
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ke-1
Masa jabatan
26 Juli 1975 – 19 Juli 1981
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
jabatan dibentuk;
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir(1908-02-17)17 Februari 1908
Sungai Batang, Hindia Belanda
Meninggal24 Juli 1981(1981-07-24) (umur 73)
Jakarta, Indonesia
MakamMakam Pahlawan Nasional Buya Hamka, Tanah Kusir
Nama lain
  • Hamka
  • Buya Hamka
Karya terkenalTafsir Al-Azhar
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Di Bawah Lindungan Ka'bah
Suami/istri
Sitti Raham
(m. 1929; meninggal 1972)

Sitti Khadijah
(m. 1973⁠–⁠1981)
Anak12, termasuk Rusydi Hamka, Irfan Hamka, Aliyah Hamka[1]
Orang tua
KerabatAbdul Bari Karim Amrullah (adik tiri)
Abdul Wadud Karim Amrullah (adik tiri)
Ahmad Rasyid (kakak ipar)
Tanda tangan
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, gelar Datuk Indomo serta populer dengan nama penanya, Buya Hamka (Indonesia: [/hɑːmkɑːˈ/], Jawi: هامکا) (17 Februari 1908 – 24 Juli 1981), adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Alih-alih menyelesaikan pendidikannya di Thawalib, ia merantau ke Jawa pada umur 16 tahun. Selang setahun, ia pulang membesarkan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pengalaman ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki ijazah dan kemampuan berbahasa Arabnya yang terbatas mendorong Hamka muda pergi ke Makkah. Lewat bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka bekerja sebagai wartawan sambil menjadi guru agama di Deli. Setelah menikah, ia kembali ke Medan dan memimpin Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.

Selama revolusi fisik Indonesia, Hamka bergerilya di Sumatera Barat bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menggalang persatuan rakyat menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Semula, ia bekerja di Departemen Agama, tapi mundur karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante mewakili Masyumi. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan anti-Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan Panji Masyarakat yang berumur pendek, karena dibredel oleh Soekarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh komunisme di Indonesia, Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.

Hamka bebas pada Mei 1966 menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno.[2] Pada masa Orde Baru Soeharto, ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung Al-Azhar serta berceramah di Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.[3]

  1. ^ Suci Wulandari Putri Chaniago; Ni Nyoman Wira Widyanti (27 April 2023). "Berbincang dengan Putra Bungsu Buya Hamka, Bicara Jubah dan Keluarga". Kompas.com. Diakses tanggal 14 Juni 2024. 
  2. ^ Prof. Dr. Hamka. 1982. Tafsir Al Azhar Juz XXX. Jakarta : Penerbit Pustaka Panjimas (hal 198)
  3. ^ "Pergi Untuk Selamanya". Majalah Tempo. Tempo.co. 1 Agustus 1981. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-19. Diakses tanggal 10 Maret 2022. 

Developed by StudentB