Intervensi Jepang di Siberia (シベリア出兵 , Shiberia Shuppei) pada tahun 1918–1922 adalah pengiriman pasukan Jepang ke Provinsi-Provinsi Maritim Rusia sebagai bagian dari upaya negara-negara Barat dan Jepang untuk mendukung Gerakan Putih Rusia melawan Tentara Merah selama Perang Saudara Rusia. Akibat ekspedisi ini, 1.399 tentara Jepang tewas dan 1.717 lainnya meninggal dunia akibat penyakit.[1] Templat:Campaignbox Russian Civil War
Jepang pada awalnya diminta Prancis untuk melakukan intervensi di Rusia pada tahun 1917, tetapi mereka menolaknya.[2] Namun, pada Februari 1918, "Komite Perencanaan Siberia" dibentuk oleh Staf Umum Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Kementerian Perang dengan tujuan untuk mencari kesempatan bagi Jepang untuk menghilangkan ancaman dari Rusia dengan mendirikan negara merdeka di Siberia sebagai pembatas.[2] Angkatan Darat Jepang mengusulkan serangan di dua front, dari Vladivostok hingga Khabarovsk di sepanjang Sungai Amur dan juga lewat Jalur Kereta Api Timur Tiongkok untuk memutus Jalur Kereta Api Trans-Siberia di dekat Danau Baikal.[3] Pemerintahan Jepang pada saat ini dipimpin oleh Perdana Menteri Hara Takashi yang berasal dari latar belakang sipil dan ia menolak melancarkan ekspedisi tersebut.[2]
Pada akhir tahun 1917, pemerintah Jepang merasa panik setelah mengetahi bahwa pemerintah Britania telah mendekati Amerika Serikat untuk melakukan intervensi gabungan di Vladivostok tanpa mengajak Jepang meskipun Britania dan Jepang telah bersekutu. Pada Desember 1917, Britania sepakat bahwa pasukan ekspedisi tersebut perlu melibatkan Jepang, tetapi sebelum rinciannya dapat ditetapkan, Britania memerintahkan kapal HMS Suffolk (1903) untuk bergerak dari Hong Kong ke Vladivostok.[4] Perdana Menteri Jepang Terauchi Masatake murka dan memerintahkan agar Angkatan Laut Kekaisaran Jepang mencapai kota Vladivostok terlebih dahulu. Tugas ini diberikan kepada Laksamana Katō Kanji dengan menggunakan kapal perang Iwami dan Asahi. Iwami berangkat dari Distrik Laut Kure pada tanggal 9 Januari 1918 dan tiba di Vladivostok pada tanggal 12 Januari 1918, dua hari sebelum kapal HMS Suffolk tiba. Asahi tiba pada tanggal 17 Januari 1918. USS Brooklyn (CA-3) yang sebelumnya ditugaskan di Vladivostok hingga Desember 1917 kembali ke kota tersebut pada tanggal 1 Maret 1918.[4]
Tujuan awal pengiriman kapal ini adalah untuk meningkatkan kepercayaan diri pasukan anti-Bolshevik dan membantu mengembalikan ketertiban umum. Namun, setelah massa menjarah tuku yang dimiliki orang Jepang dan membunuh pemiliknya, pemerintah Jepang tanpa menunggu investigasi terlebih dahulu mengizinkan pendaratan para marinir yang kemudian menduduki seluruh kota. Britania juga mendaratkan 100 marinir untuk melindungi konsulat mereka, sementara Amerika tidak mengambil tindakan apapun.[4] Pada juli 1918, Presiden Wilson meminta pemerintah Jepang untuk menyediakan 7.000 pasukan sebagai bagian dari koalisi internasional yang terdiri dari 25.000 pasukan untuk membantu Legiun Cekoslowakia dan mengamankan persediaan perang di Vladivostok. Setelah perdebatan yang sengit di parlemen Jepang, pemerintahan Perdana Menteri Terauchi sepakat untuk mengirimkan 12.000, tetapi di bawah perintah Jepang dan bukan sebagai bagian dari koalisi internasional.
Jepang pada akhirnya malah mengirim 70.000 pasukan.[5] Selain itu, Sekutu hanya merencanakan operasi di dekat Vladivostok, tetapi dalam beberapa bulan pasukan Jepang sudah mencapai kawasan Danau Baikal dan Buryatia. Pada tahun 1920, perusahaan zaibatsu seperti Mitsubishi dan Mitsui telah membuka kantor cabang di Vladivostok, Khabarovsk, Nikolayevsk-on-Amur, dan Chita, dan membawa bersama mereka 50.000 orang. Setelah koalisi internasional mundur dari Rusia, pasukan Jepang masih tetap berada di Rusia. Namun, akibat perlawanan politik, angkatan darat tidak dapat mencaplok wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Jepang terus mendukung pemimpin Gerakan Putih Aleksandr Kolchak hingga ia mengalami kekalahan dan ditangkap pada tahun 1920. Jepang juga mendukung rezim Ataman Semenov, tetapi pemerintahannya yang tidak stabil jatuh pada tahun 1922. Pada Maret dan April 1922, Jepang berhasil mematahkan serangan besar Bolshevik ke Vladivostok. Pada 24 Juni 1922, Jepang mengumumkan bahwa mereka akan mundur secara sepihak dari semua wilayah Rusia pada bulan Oktober kecuali untuk Pulau Sakhalin utara yang direbit sebagai balasan atas Insiden Nikolayevsk pada tahun 1920.[6] Pada 20 Januari 1925, Konvensi Soviet-Jepang ditandatangani di Beijing, dan berdasarkan isi konvensi ini Jepang akan mundur dari Sakhalin utara pada tanggal 15 Mei 1925.