artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Jenis | Agama asli Nusantara (Suku Dayak) |
---|---|
Kitab suci | Panaturan |
Teologi | Monoteisme |
Bentuk pemerintahan | |
Pemimpin | |
Wilayah | Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Kalimantan Timur |
Bahasa |
|
Kantor pusat | Kalimantan Tengah |
Pengakuan | |
Jumlah pengikut | ± 200.000 jiwa [2] [3] [4] |
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Kalimantan Tengah : Kalimantan Selatan : Kalimantan Barat : Kalimantan Timur : | |
Kelompok etnik terkait | |
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Agama asli Nusantara |
---|
Sumatra |
Ugamo Malim • Pemena • Arat Sabulungan • Fanömba adu • Melayu |
Jawa |
Sunda Wiwitan (Madraisme & Buhun) • Kapitayan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme |
Nusa Tenggara |
Hindu Bali • Halaika • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu • Koda Kirin • Makamba Makimbi |
Kalimantan |
Kaharingan • Momolianisme • Bungan |
Sulawesi |
Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi • Masade • Hindu Sulawesi |
Maluku dan Papua |
Naurus • Wor • Asmat |
Organisasi |
Portal «Agama» |
Kaharingan adalah agama asli suku Dayak di Pulau Kalimantan. Agama Kaharingan sudah ada sejak lama di Kalimantan bahkan sebelum agama-agama lainnya memasuki Kalimantan. Kaharingan bukan merupakan animisme atau dinamisme. Saat ini Kaharingan menjadi salah satu agama leluhur di Indonesia yang masih bertahan dan dianut oleh sebagian suku Dayak, khususnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.[5][6]
Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan).[7] Penganut Kaharingan percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Pencipta Alam Semesta yang mempunyai sebutan berbeda-beda di tiap daerah (Ranying Hatalla Langit / Suwara / Yustu Ha Latalla), dianut secara turun temurun dan dihayati oleh para penganutnya di Kalimantan. Ucapan salam dalam agama Kaharingan adalah "Tabe Salamat Lingu Nalatai, Salam Sahujud Karendem Malempang" yang berasal dari bahasa Sangiang dan memiliki arti "Selamat bertemu, semoga dalam keadaan bahagia".[8] Namun kini ucapan salam tersebut disalah-artikan sebagai ucapan salam adat suku Dayak.
Agama Kaharingan mempunyai simbol tersendiri yang disebut Batang Garing, yang berarti pohon kehidupan dalam bahasa Sangiang. Simbol Batang Garing ini sudah tidak asing bagi masyarakat Dayak karena sering dijumpai pada banyak bangunan di Kalimantan bahkan menjadi motif pakaian batik suku Dayak. Akibat pemerintah Indonesia yang mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, maka sejak 20 April 1980 agama Kaharingan akhirnya dikategorikan sebagai salah satu cabang dari agama Hindu (sebutannya menjadi Hindu Kaharingan).[9] Sehingga dalam pembuatan KTP, para penganut Kaharingan mencantumkan Hindu pada kolom agamanya. Seperti halnya agama Tolotang pada suku Bugis yang memiliki persamaan dengan Hindu dalam melaksanakan ritual pengorbanan hewan suci yang dalam agama Hindu disebut Yadnya, yang kemudian diresmikan menjadi Hindu Tolotang.[10]
Dahulu umat Kaharingan menjadi target para Misionaris dalam menyebarkan agama Kristen Protestan dan Katolik secara besar-besaran.[11] Dalam sejarahnya, Gereja Katolik muncul di tanah Borneo pada akhir abad ke-19. Sejarah ini dimulai dengan pembukaan sekolah misi di antara orang Dayak yang pada saat itu masih hidup komunal di dalam hutan tropis Pulau Kalimantan. Pada tahun 1835 penyebaran agama Kristen (Protestan) sudah masuk ke daerah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Upaya misionaris tersebut berhasil menjadikan sebagian rumpun suku Dayak sebagai mayoritas beragama Kristen, walau tidak secara menyeluruh dengan sebagian masih menganut kepercayaan lokal. Kegiatan pengkabaran injil masih berlaku sampai saat ini, terlebih dipedalaman Kalimantan. Ada beberapa golongan suku Dayak non-Kaharingan yang masih melakukan sebagian ritual kecil dalam agama Kaharingan sebagai tradisi adat, seperti ritual Nahunan dan ritual Hinting Pali. Dalam prosesinya, mereka akan mengundang pemuka agama Kaharingan yang mereka anggap sebagai pemuka adat Dayak untuk memimpin ritual tersebut.[12]
Meskipun begitu, masyarakat suku Dayak yang beragama samawi tidak bisa melaksanakan ritual-ritual besar dalam agama Kaharingan seperti ritual Tiwah, Wara, Ayah'an, Ijame, dan Dallok karena ritual-ritual tersebut merupakan ritual keagamaan Kaharingan. Tidak bisa dipungkiri bahwa hampir seluruh hal yang disebut sebagai adat budaya suku Dayak bersumber dari unsur ajaran agama Kaharingan. Seringkali ritual keagamaan Kaharingan disalahgunakan sebagai simbol tradisi adat kesukuan Dayak, tanpa mengetahui makna dari ritual yang dilakukan oleh para penganut Kaharingan.[13]
Gelar Pangkalima adalah gelar tertinggi bagi pemuka agama Kaharingan yang memiliki kekuatan spiritual tinggi, dan gelar "Pangkalima" ini tidak bisa diberikan kepada sembarang orang, apalagi kepada orang yang bukan penganut agama Kaharingan. Pada masa kini, pemuka agama Kaharingan yang bergelar "Pangkalima" jumlahnya lebih sedikit daripada Basir, Balian, dan Pisor. Salah satu Pangkalima umat Kaharingan yang terkenal pada masanya adalah Pangkalima Baiyoh, yang sudah meninggal dan sudah di-Tiwahkan, begitupun dengan istrinya.