Kaharingan

"Batang Garing",
simbol agama Kaharingan.
JenisAgama asli Nusantara
(Suku Dayak)
Kitab suciPanaturan
TeologiMonoteisme
Bentuk
pemerintahan
Pemimpin
WilayahKalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Bahasa
Kantor pusatKalimantan Tengah
Pengakuan
• Diakui pada 1980, sebagai bagian dari agama Hindu.

• Diakui pada 2017, sebagai Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[1]

Jumlah pengikut± 200.000 jiwa [2] [3] [4]
Kaharingan
Daerah dengan populasi signifikan
Kalimantan Tengah :

Kalimantan Selatan :

Kalimantan Barat :

Kalimantan Timur :
Kelompok etnik terkait

Kaharingan adalah agama asli suku Dayak di Pulau Kalimantan. Agama Kaharingan sudah ada sejak lama di Kalimantan bahkan sebelum agama-agama lainnya memasuki Kalimantan. Kaharingan bukan merupakan animisme atau dinamisme. Saat ini Kaharingan menjadi salah satu agama leluhur di Indonesia yang masih bertahan dan dianut oleh sebagian suku Dayak, khususnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.[5][6]

Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan).[7] Penganut Kaharingan percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Pencipta Alam Semesta yang mempunyai sebutan berbeda-beda di tiap daerah (Ranying Hatalla Langit / Suwara / Yustu Ha Latalla), dianut secara turun temurun dan dihayati oleh para penganutnya di Kalimantan. Ucapan salam dalam agama Kaharingan adalah "Tabe Salamat Lingu Nalatai, Salam Sahujud Karendem Malempang" yang berasal dari bahasa Sangiang dan memiliki arti "Selamat bertemu, semoga dalam keadaan bahagia".[8] Namun kini ucapan salam tersebut disalah-artikan sebagai ucapan salam adat suku Dayak.

Agama Kaharingan mempunyai simbol tersendiri yang disebut Batang Garing, yang berarti pohon kehidupan dalam bahasa Sangiang. Simbol Batang Garing ini sudah tidak asing bagi masyarakat Dayak karena sering dijumpai pada banyak bangunan di Kalimantan bahkan menjadi motif pakaian batik suku Dayak. Akibat pemerintah Indonesia yang mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, maka sejak 20 April 1980 agama Kaharingan akhirnya dikategorikan sebagai salah satu cabang dari agama Hindu (sebutannya menjadi Hindu Kaharingan).[9] Sehingga dalam pembuatan KTP, para penganut Kaharingan mencantumkan Hindu pada kolom agamanya. Seperti halnya agama Tolotang pada suku Bugis yang memiliki persamaan dengan Hindu dalam melaksanakan ritual pengorbanan hewan suci yang dalam agama Hindu disebut Yadnya, yang kemudian diresmikan menjadi Hindu Tolotang.[10]

Dahulu umat Kaharingan menjadi target para Misionaris dalam menyebarkan agama Kristen Protestan dan Katolik secara besar-besaran.[11] Dalam sejarahnya, Gereja Katolik muncul di tanah Borneo pada akhir abad ke-19. Sejarah ini dimulai dengan pembukaan sekolah misi di antara orang Dayak yang pada saat itu masih hidup komunal di dalam hutan tropis Pulau Kalimantan. Pada tahun 1835 penyebaran agama Kristen (Protestan) sudah masuk ke daerah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Upaya misionaris tersebut berhasil menjadikan sebagian rumpun suku Dayak sebagai mayoritas beragama Kristen, walau tidak secara menyeluruh dengan sebagian masih menganut kepercayaan lokal. Kegiatan pengkabaran injil masih berlaku sampai saat ini, terlebih dipedalaman Kalimantan. Ada beberapa golongan suku Dayak non-Kaharingan yang masih melakukan sebagian ritual kecil dalam agama Kaharingan sebagai tradisi adat, seperti ritual Nahunan dan ritual Hinting Pali. Dalam prosesinya, mereka akan mengundang pemuka agama Kaharingan yang mereka anggap sebagai pemuka adat Dayak untuk memimpin ritual tersebut.[12]

Meskipun begitu, masyarakat suku Dayak yang beragama samawi tidak bisa melaksanakan ritual-ritual besar dalam agama Kaharingan seperti ritual Tiwah, Wara, Ayah'an, Ijame, dan Dallok karena ritual-ritual tersebut merupakan ritual keagamaan Kaharingan. Tidak bisa dipungkiri bahwa hampir seluruh hal yang disebut sebagai adat budaya suku Dayak bersumber dari unsur ajaran agama Kaharingan. Seringkali ritual keagamaan Kaharingan disalahgunakan sebagai simbol tradisi adat kesukuan Dayak, tanpa mengetahui makna dari ritual yang dilakukan oleh para penganut Kaharingan.[13]

Sandung adalah tempat peletakan tulang manusia setelah dilakukan upacara Tiwah (upacara kematian dalam agama Kaharingan).
Sandung milik Ngabe Sukah sudah dilindungi oleh pemerintah, dan dimasukan ke cagar budaya.

Gelar Pangkalima adalah gelar tertinggi bagi pemuka agama Kaharingan yang memiliki kekuatan spiritual tinggi, dan gelar "Pangkalima" ini tidak bisa diberikan kepada sembarang orang, apalagi kepada orang yang bukan penganut agama Kaharingan. Pada masa kini, pemuka agama Kaharingan yang bergelar "Pangkalima" jumlahnya lebih sedikit daripada Basir, Balian, dan Pisor. Salah satu Pangkalima umat Kaharingan yang terkenal pada masanya adalah Pangkalima Baiyoh, yang sudah meninggal dan sudah di-Tiwahkan, begitupun dengan istrinya.

  1. ^ "Penghayat Kepercayaan: Setelah Putusan MK dan Kolom KTP". voaindonesia.com. 10 April 2018. Diakses tanggal 25 Juli 2023. 
  2. ^ "Jumlah Penduduk Kalimantan Tengah Menurut Agama/Kepercayaan (Juni 2021)". Databoks katadata co.id. 19 Oktober 2021. Diakses tanggal 8 Januari 2023. 
  3. ^ "Tabel Jumlah Penduduk Menurut Agama di Kalimantan Barat Tahun 2022". Dukcapil kalbarprov go.id. 21 November 2022. Diakses tanggal 8 Januari 2023. 
  4. ^ "Table Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama dan Kepercayaan di Kalimantan Selatan Tahun 2021". Data kalsel prov go.id. 21 November 2022. Diakses tanggal 8 Januari 2023. 
  5. ^ (Inggris) Susanto, A. Budi (2003). Politik dan postkolonialitas di Indonesia. Kanisius. ISBN 9789792108507.  ISBN 979-21-0850-5
  6. ^ (Indonesia) Fr. Wahono Nitiprawiro, Moh. Sholeh Isre, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), Teologi pembebasan: sejarah, metode, praksis, dan isinya, PT LKiS Pelangi Aksara, 2000 ISBN 979-8966-85-6, 9789798966859
  7. ^ (Indonesia) Fridolin Ukur, Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835, BPK Gunung Mulia, 2000 ISBN 979-9290-58-9, 9789799290588
  8. ^ Abubakar, Ngalimun, Fimier Liadi, Latifah (1 Oktober 2020). Bahasa Sebagai Nilai Perekat Dalam Simbol Budaya Lokal Tokoh Agama. Kota Palangkaraya: IAIN Palangkaraya. hlm. 167. 
  9. ^ (Indonesia)Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. ISBN 9792116575. [pranala nonaktif permanen]ISBN 978-979-21-1657-1
  10. ^ ["(Indonesia) A. Budi Susanto, Masihkah Indonesia, Kanisius, 2007 ISBN 979-21-1657-5, 9789792116571". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-02-19. Diakses tanggal 2010-07-31.  (Indonesia) A. Budi Susanto, Masihkah Indonesia, Kanisius, 2007 ISBN 979-21-1657-5, 9789792116571]
  11. ^ Manjau, Arga. "Bagaimana sejarah mayoritas suku Dayak menganut agama Kristen?". archive.org (Quora). Diakses tanggal 6 Maret 2023. 
  12. ^ PROSES PEMAKAMAN ADAT ( DEMANG AJONG ) SUKU DAYAK TOMUN KALTENG, diakses tanggal 2023-03-06 
  13. ^ Supriadi, Hairil (2022-06-11). "Hinting Pali Tidak Bisa Dipasang Sembarangan". KALTENGTIMES. Diakses tanggal 2023-03-31. 

Developed by StudentB