Bagian dari seri |
Alkitab |
---|
Kanon Alkitab dan kitab-kitabnya |
Tanakh (Taurat · Nevi'im · Ketuvim) Kanon Alkitab Kristen · Alkitab Ibrani Perjanjian Lama (PL) · Perjanjian Baru (PB) Deuterokanonika · Antilegomena Bab dan ayat dalam Alkitab Apokrifa: (Yahudi · PL · PB) |
Perkembangan dan Penulisan |
Terjemahan dan Naskah |
Taurat Samaria Gulungan Laut Mati Teks Masorah Targum · Pesyita Septuaginta · Vulgata Alkitab Goth · Vetus Latina Alkitab Luther · Alkitab Inggris · Alkitab Indonesia |
Studi |
Kode Alkitab Novum Testamentum Graece Hipotesis dokumen Kategori PB Konsistensi internal Arkeologi · Artefak |
Tafsir |
Hermeneutika · Pesyer · Midras · Pardes · Penafsiran alegori Alkitab · Literalisme · Nubuat · Homoseksualitas |
Daftar dan Garis besar topik |
Artefak · Nama · Tokoh |
Kanon Alkitab Kristen merupakan sekumpulan kitab yang dianggap oleh suatu denominasi Kristen sebagai terinspirasi secara ilahi dan dengan demikian membentuk sebuah Alkitab Kristen. Kendati Gereja perdana utamanya menggunakan Septuaginta (Perjanjian Lama Yunani, atau LXX) atau Targum dalam kalangan yang berbahasa Aram, para Rasul tidak mewariskan sebuah set kitab-kitab suci baru yang sudah terdefinisikan dengan jelas sehingga kanon Perjanjian Baru dikembangkan seiring berjalannya waktu.
Sebagaimana perkembangan kanon Perjanjian Lama, kanon Perjanjian Baru juga mengalami proses secara bertahap. Sebuah artikel dari Catholic Encyclopedia tentang Perjanjian Baru menjelaskan proses perangkaian berbagai surat dan sejarah yang beredar dalam Gereja awal mula sampai kanon tersebut disahkan oleh serangkaian konsili yang berupaya memastikan legitimasi kitab-kitab tersebut sebagai kitab suci yang terinspirasi atau terilhami:
Gagasan bahwa kanon yang lengkap dan jelas dari Perjanjian Baru telah ada sejak awal, yaitu dari masa Apostolik, tidak memiliki dasar dalam sejarah. Kanon Perjanjian Baru, seperti yang Lama, merupakan hasil dari suatu perkembangan, dari suatu proses yang secara bersamaan dipicu oleh perdebatan dengan mereka yang meragukannya, baik di dalam maupun di luar Gereja, diperlambat oleh berbagai keraguan alamiah dan ketidakjelasan tertentu, dan tidak mencapai kesepakatan akhir sampai definisi dogmatis yang dilakukan dalam Konsili Trento.[1]