Konten dan perspektif penulisan artikel ini tidak menggambarkan wawasan global pada subjeknya. |
Artikel ini perlu dikembangkan dari artikel terkait di Wikipedia bahasa Inggris. (Oktober 2021)
klik [tampil] untuk melihat petunjuk sebelum menerjemahkan.
|
Kekerasan dalam rumah tangga | |
---|---|
Pita ungu sebagai simbol kepedulian terhadap korban KDRT | |
Informasi umum | |
Nama lain | Kekerasan keluarga |
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, entah berada dalam keadaan sudah kawin maupun hanya sebatas kumpul kebo. KDRT umumnya dilakukan di antara orang yang sudah memiliki hubungan kekeluargaan dan umumnya terjadi pada suami-istri sah atau pasangan serumah. Kekerasan ini juga dapat menimpa anak, orang tua, atau lanjut usia, dapat berupa kekerasan fisik maupun verbal serta dilatarbelakangi oleh emosi, masalah ekonomi, pertentangan agama, atau seks. Kekerasan dapat memiliki tingkatan mulai dari yang ringan hingga berat seperti pemukulan, pencekikan, atau bahkan berujung kematian, serta dapat menggunakan teknologi.[1][2]
Pada 2015, Departemen Dalam Negeri Britania Raya memperluas definisi KDRT termasuk penggunaan pemaksaan (kontrol koersif).[3]
Secara global, korban KDRT umumnya perempuan, dan umumnya perempuan banyak mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.[4][5] Perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.[6] Hal ini juga didukung bahwa laki-laki sering menggunakan kekerasan untuk membela diri.[7] Sejumlah penelitian telah mendemonstrasikan korelasi antara tingkat kesetaraan gender dan laju KDRT di sebuah negara, yang menunjukkan bahwa negara dengan tingkat kesetaraan gender yang rendah memiliki laju KDRT yang tinggi .[8] KDRT adalah salah satu kejahatan yang jarang dilaporkan baik dari laki-laki maupun perempuan.[9][10] Tambahanya, stigma sosial menyebabkan laki-laki yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sering diabaikan oleh penyedia layanan kesehatan.[11][12][13][14]
KDRT sering terjadi ketika pelakunya yakin bahwa ia berhak menggunakannya. Hal ini menyebabkan siklus kekerasan antargenerasi pada anak dan anggota keluarga yang lain, yang mungkin menganggap kekerasan dapat diterima atau dimaafkan. Banyak orang tidak mengaku sebagai pelaku kekerasan atau korban, karena mereka beranggapan itu adalah konflik keluarga yang tidak terkendali.[15] Kesadaran, persepsi, pengertian, dan dokumentasi KDRT sangat berbeda dari satu negara ke negara lain. Selain itu, KDRT sering terjadi dalam konteks perkawinan paksa atau perkawinan anak.[16]
Dalam hubungan kekerasan, terdapat siklus ketika masalah memuncak dan fase kekerasan terjadi, kemudian terjadi masa islah (rekonsiliasi) dan tenang. Korban KDRT sering mengalami pengasingan, trauma,[17] masalah keuangan, pengucilan, ketakutan, dan rasa malu. Hasilnya, korban tersebut dapat mengalami disabilitas fisik, agresivitas, masalah kesehatan kronis, penyakit mental, kemiskinan, atau tidak mau bersosialisasi secara sehat. Korban-korban KDRT banyak mengalami gangguan psikologis seperti gangguan stres pascatrauma. Anak-anak yang tinggal di keluarga bermasalah sering menunjukkan masalah psikologis seperti suka menghindar, takut terhadap ancaman dan agresi yang tidak terduga, yang dapat berujung pada trauma berkepanjangan.[18]
This is an issue that affects vast numbers of women throughout all nations of the world. ... Although there are cases in which men are the victims of domestic violence, nevertheless 'the available research suggests that domestic violence is overwhelmingly directed by men against women ... In addition, violence used by men against female partners tends to be much more severe than that used by women against men. Mullender and Morley state that 'Domestic violence against women is the most common form of family violence worldwide.'
Intimate male partners are most often the main perpetrators of violence against women, a form of violence known as intimate partner violence, 'domestic' violence or 'spousal (or wife) abuse.' Intimate partner violence and sexual violence, whether by partners, acquaintances or strangers, are common worldwide and disproportionately affect women, although are not exclusive to them.