Kekristenan di Jepang masuk melalui jalur perdagangan pada abad ke-19.[1] Orang Jepang tertarik dengan pengetahuan dan teknologi dari Barat, sehingga semakin terbuka bagi masuknya kekristenan.[1] Bahkan, pemerintah Jepang sendiri mengangkat orang-orang Kristen sebagai pengajar di perguruan-perguruan tinggi yang ada.[1] Keterbukaan Jepang pada saat ini memberikan ruang bagi jemaat Kristen yang pernah diinjili sekitar abad ke-16, namun mengalami tekanan dari negara sehingga terpaksa bersembunyi.[1] Bahkan, Nikolai, seorang pendeta konsul dari Rusia berhasil membangun Gereja Ortodoks Rusia di Jepang.[1] Sementara itu, Gereja Protestan berhasil di antara golongan samurai karena mereka tertarik pada prinsip pemuridan dan pengabdian yang ditawarkan oleh Protestanisme.[1] Selain itu, masa kebangunan rohani yang berlangsung sekitar tahun 1880 turut membantu perkembangan gereja dengan cepat.[1] Salah satu pergumulan utama jemaat Kristen di Jepang adalah nasionalisme Jepang yang sangat terkait dengan agama Shinto, membuat mereka mengalami kesulitan untuk menemukan kesetiaan pada negara sekaligus pada agama Kristen itu sendiri.[1] Selain itu, pecahnya Perang Dunia II menyebabkan konflik kesetiaan antara jemaat Kristen dengan negaranya menjadi semakin parah.[1] Terlepas dari hal-hal tersebut, ada beberapa tokoh kristen yang memiliki peranan bagi Jepang, seperti Toyohiko Kagawa.[2]