Kesultanan Banten

Kesultanan Banten

ᮊᮞᮥᮜ᮪ᮒᮔᮔ᮪ ᮘᮔ᮪ᮒᮨᮔ᮪ (Aksara Sunda)
1527-1813
Bendera Banten
Bendera
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya
Ibu kotaSurosowan, Banten Lama, Kota Serang
Bahasa yang umum digunakanBahasa Sunda Banten,[1] Bahasa Jawa Serang1, Melayu, Arab[2]
Agama
Islam
PemerintahanKesultanan
Sultan 
• 1552–1570
Sultan Maulana Hasanuddin2
• 1651–1683
Sultan Ageng Tirtayasa
• 1809–1813
Sultan Muhammad Shafiuddin
Sejarah 
• Didirikan
(sebagai kadipaten di bawah Kesultanan Cirebon)
1526
• Sebagai kesultanan berdaulat
1552
1684-1800
• Vasal Republik Batavia (Belanda) & dilanjuti Kerajaan Hollandia (Belanda)
1800-1806 & 1806-1810
• Diserap ke dalam Hindia Belanda secara sepihak oleh Daendels
22 November 1808 -- 1811
• Vasal Kekaisaran Prancis
(saat menguasai Belanda)
1810-1811
• Vasal EIC (Perusahaan Hindia Timur Inggris)
dan berakhir dengan dianeksasi oleh Inggris
1811-1813
• Kesultanan kembali dihidupkan
(dengan status simbolis di bawah Provinsi Banten, Indonesia)
sekarang
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Sunda
kslKesultanan
Cirebon
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
1 Bahasa Jawa Serang adalah bahasa yang dipergunakan di wilayah Banten bagian utara yang merupakan percampuran bentuk-bentuk tertentu dari bahasa Sunda, bahasa Jawa serta elemen lainya, Bahasa Jawa Banten ini banyak dipengaruhi oleh Bahasa Cirebon dan Sunda dialek Barat,[1] tetapi terdapat pula pengaruh Bahasa Arab, Melayu, Belanda, dan Inggris.[2][3]

2 8 Oktober 1526 M (1 Muharam 933 H) - 1552 M,[4] status Kesultanan Banten adalah sebagai Kadipaten (Provinsi) di bawah kesultanan Cirebon.[5]

Azmatkhan Walisongo
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Peringatan: Page using Template:Infobox country with unknown parameter "region" (pesan ini hanya ditampilkan dalam pratinjau).
Peringatan: Page using Template:Infobox country with unknown parameter "continent" (pesan ini hanya ditampilkan dalam pratinjau).
Peringatan: Page using Template:Infobox country with unknown parameter "country" (pesan ini hanya ditampilkan dalam pratinjau).

Kesultanan Banten (bahasa Sunda: Kasultanan Banten) dikenal di dunia barat sebagai Bantam adalah sebuah kerajaan Islam, pernah berdiri di wilayah Banten, DKI Jakarta, sebagian Jawa Barat dan Lampung, Indonesia. Kesultanan ini berawal sekitar tahun 1526, ketika Kesultanan Cirebon dan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat laut Pulau Jawa, dengan menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi dari terwujudnya perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis di tahun 1522 M.[6]

Maulana Hasanuddin, menantu dari Sunan Gunung Jati[7] berperan dalam penaklukan tersebut khususnya di daerah Teluk Banten. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mulai mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan (dibangun 1552 M)[8], saat ini terletak di Banten Lama. Surosowan berkembang menjadi kawasan kota pesisir yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.

Kesultanan Banten pernah menjadi pusat perdagangan besar dan penting di Asia Tenggara, dengan barang ekspor unggulan terutama lada. Kesultanan ini mencapai puncak kejayaannya di akhir abad ke-16 sampai ke pertengahan abad ke-17. Pada akhir abad ke-17 kesultanan ini mulai dibayangi oleh VOC di Batavia, serta akhirnya dianeksasi ke Hindia Belanda pada tahun 1813. Wilayah intinya saat ini membentuk provinsi Banten. Saat ini di Banten Lama terutama Masjid Agung Banten menjadi tujuan penting bagi wisatawan dan peziarah dari seluruh Indonesia dan dari luar negeri.

Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, namun di waktu yang bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara dan persaingan memperebutkan sumber daya maupun perdagangan dengan kekuatan global, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan di masa-masa akhir pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

  1. ^ a b Taufiqurokhman; Widodo, Hari; Gunawan, Muhammad; Lambe, Sulaeman (2014). Banten dari Masa ke Masa (PDF). Serang: Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Banten. ISBN 9786027140400. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-08-01. Diakses tanggal 2017-06-14. 
  2. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama titik
  3. ^ Facal, Gabriel. 2016. Keyakinan dan Kekuatan: Seni Bela Diri Silat Banten. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
  4. ^ Lubis, Nina Herlina, 2004. Banten dalam pergumulan sejarah : sultan, ulama, jawara. Jakarta : LP3ES
  5. ^ Wildan, Dadan. 2003. Sunan Gunung Jati antara fiksi dan fakta : pembumian Islam dengan pendekatan struktural dan kultural. Bandung : Humaniora
  6. ^ Thohir, Ajid (2021-07-08). "Establishing the Historiography of Islamic Sultanate in Nusantara". Academic Journal of Interdisciplinary Studies. 10 (4): 81. doi:10.36941/ajis-2021-0100. ISSN 2281-4612. 
  7. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.
  8. ^ "Surosowan Maulana Hasanuddin - Penelusuran Google". www.google.com. Diakses tanggal 2023-11-22. 

Developed by StudentB