Kidung adalah suatu bentuk puisi lama, terutama yang berkembang sejak era sastra Jawa periode Tengahan, yaitu dari masa Majapahit akhir. Sebagai puisi lama, bentuknya sangat terikat dengan metrum yang ketat, dalam mengatur pola sajak (rima) dalam suatu bait, jumlah suku kata (syllable) dalam satu baris, dan jumlah baris dalam satu bait.[1][2] Dalam perkembangannya, khususnya di Bali, pembacaan kidung juga melibatkan instrumen musik sehingga unsur lagu/nada berhubungan dalam suatu pola bait.[3] Aturan semacam ini juga dikenal dalam bentuk puisi lama lain dalam sastra Jawa, seperti kakawin dan macapat. Kidung juga dapat diartikan sebagai pola metrum.[4]
Secara leksikal, kata "kidung" berasal dari bahasa Jawa Pertengahan dan mempunyai padanan dengan tembang atau sekar, bermakna 'nyanyian' dalam bahasa Jawa baru.[5] Bentuk verba kidung dalam bahasa Jawa Tengahan menjadi mangidung, 'bernyanyi'. Bahasa Jawa Baru juga mengenal istilah kidung yang memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kidung dalam bahasa Jawa Tengahan, dan bentuk verbanya menjadi ngidung atau angidung. Makna ini kemudian sering dipakai dalam penggunaan istilah "kidung" sebagai nyanyian pujian atau religius dalam bahasa Jawa moderen maupun bahasa Indonesia.
Perbedaan kidung dari kakawin yang paling jelas adalah penggunaan bahasanya. Kakawin menggunakan bahasa Jawa Kuna, sedangkan kidung menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Perbedaan lain yang juga tampak dalam absennya guru laghu (aturan nada) pada kidung, yang pada kakawin menjadi salah satu aturan yang baku.[6] Perbedaan metrik tentu saja juga menjadi penciri penting dari kedua bentuk puisi tersebut.
Kidung dipakai untuk menyajikan cerita maupun bacaan ritual, khususnya dalam tradisi Hindu Bali. Cerita-cerita rakyat warisan dari periode Jawa pra-Islam banyak diabadikan dalam bentuk kidung, seperti cerita-cerita Panji (misalnya dalam Kidung Malat, Kidung Wangbang Wideya, dan Kidung Waseng) atau cerita-cerita lain sezaman, seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Sunda, Kidung Sorandaka, dan Kidung Ranggalawe, Ada pula kidung yang mengolah cerita binatang sebagaimana tertuang dalam Tantri Kamandaka (misalnya dalam Kidung Tantri Pisacaharana dan Kidung Tantri Manduka Prakarana).[3] Zoetmulder pernah menuliskan, dalam tradisi sastra Jawa periode Tengahan, bentuk sastra kakawin tidak pernah dipakai untuk menyajikan cerita-cerita lokal; sebaliknya kidung dipakai untuk cerita-cerita lokal, meskipun ada kidung yang dipakai untuk menceritakan kisah-kisah sempalan/kembangan/carangan dari Mahabharata, seperti Kidung Dewaruci, Kidung Korawasrama, Kidung Sudamala, dan Kidung Sri Tanjung.[3]