Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon kemudian berdasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang Burgerlijk Wetboek voor Indonesië (disingkat BW) atau disebut sebagai KUH Perdata. BW sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warga negara bukan asli yaitu dari Eropa dan Tionghoa. Namun, berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945 tertulis "Masih tetap berlaku segala Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar", artinya hal ini berlaku sebelum 17 Agustus 1945 karena di tahun setelah kemerdekaan RI telah banyak perubaham hingga tahun 1946, seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda tidak berlaku bagi warga negara Indonesia (asas konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat di dalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah atau tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan, dan fidusia[1]
Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku pada Januari 1848.
Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku.[2]