Republik Rakyat Demokratik Korea 조선민주주의인민공화국 Chosŏn Minjujuŭi Inmin Konghwaguk (Korea) | |
---|---|
Wilayah yang dikuasai Korea Utara berwarna hijau tua; wilayah yang diklaim tetapi tidak dikuasai berwarna hijau muda. | |
Status | Negara berdaulat |
Ibu kota | Pyongyang 39°2′N 125°45′E / 39.033°N 125.750°E |
Bahasa resmi | Korea[1] |
Aksara resmi | Chosŏn'gŭl[2] |
Agama (2020) |
|
Pemerintahan | Kesatuan Juche Songun satu partai kediktatoran totaliter republik konstitusional[3] |
Kim Jong-un[n 1] | |
Choe Ryong-hae | |
Kim Tok-hun | |
Legislatif | 최고인민회의 Ch’oego Inmin Hoeŭi |
Pembentukan | |
c. abad ke-7 SM | |
18 SM | |
698 | |
918 | |
1392 | |
12 Oktober 1897 | |
29 Agustus 1910 | |
1 Maret 1919 | |
11 April 1919 | |
• Kemerdekaan dari Jepang | 15 Agustus 1945 |
• Pembentukan Komite Rakyat Sementara Korea Utara | 8 Februari 1946 |
• Pembentukan RRDK | 9 September 1948 |
• Penerapan ideologi Juche | 27 Desember 1972 |
• Bergabung dengan PBB | 17 September 1991 |
• Konstitusi saat ini | 29 Juni 2016 |
Luas | |
- Total | 120.540 km2[4] (ke-97) |
0,11 | |
Penduduk | |
- Perkiraan 2022 | 25.955.138[5] (55) |
- Sensus Penduduk 2008 | 24.052.231[6] |
212/km2 (65) | |
PDB (KKB) | 2015 |
- Total | $40 miliar[7] |
$1.800[8] | |
PDB (nominal) | 2019 |
- Total | $16 miliar[9] |
$640 | |
IPM (1995) | 0,766[10][11] tinggi |
Mata uang | Won Rakyat Korea (₩) ( KPW ) |
Zona waktu | Waktu Pyongyang[12] (UTC+9) |
Format tanggal | |
Lajur kemudi | kanan |
Kode telepon | +850[13] |
Kode ISO 3166 | KP |
Ranah Internet | .kp[14] |
Situs web resmi www | |
Republik Rakyat Demokratik Korea | |
Nama Korea | |
---|---|
Josŏn-gŭl | |
Hanja | |
Alih Aksara | Joseon Minjujuui Inmin Gonghwaguk |
McCune–Reischauer | Chosŏn Minjujuŭi Inmin Konghwaguk |
Korea Utara, secara resmi bernama Republik Rakyat Demokratik Korea (Hangul: 조선민주주의인민공화국; Hanja: 朝鮮民主主義人民共和國; MR: Chosŏn Minjujuŭi Inmin Konghwaguk), adalah sebuah negara di Asia Timur, yang meliputi bagian utara Semenanjung Korea. Ibu kota dan kota terbesarnya adalah Pyongyang. Zona Demiliterisasi Korea menjadi batas antara Korea Utara dan Korea Selatan. Sungai Amnok dan Sungai Tumen membentuk perbatasan antara Korea Utara dan Tiongkok. Sebagian dari Sungai Tumen di timur laut merupakan perbatasan dengan Rusia. Penduduk setempat menyebut negaranya Pukchosŏn (북조선, "Chosŏn Utara"), sementara penduduk Korea Selatan menyebutnya sebagai Bukhan (북한, "Han Utara")
Semenanjung Korea diperintah oleh Kekaisaran Korea hingga dianeksasi oleh Jepang setelah Perang Rusia-Jepang tahun 1905. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Korea dibagi menjadi wilayah pendudukan Uni Soviet dan Amerika Serikat. Korea Utara menolak ikut serta dalam pemilihan umum yang diawasi PBB yang diselenggarakan di selatan pada 1948, yang mengarah kepada pembentukan dua pemerintahan Korea yang terpisah oleh zona demiliterisasi. Baik Korea Utara maupun Selatan mengklaim kedaulatan di atas seluruh semenanjung, yang berujung kepada Perang Korea tahun 1950. Sebuah gencatan senjata pada 1953 mengakhiri pertempuran; namun kedua negara secara resmi masih berada dalam status perang, karena perjanjian perdamaian tidak pernah ditandatangani.[15] Kedua negara diterima menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1991.[16] Pada 26 Mei 2009, Korea Utara secara sepihak menarik diri dari gencatan senjata.[17]
Korea Utara termasuk dalam negara satu-partai di bawah front penyatuan yang dipimpin oleh Partai Buruh Korea.[18][19][20][21] Pemerintahan negara mengikuti ideologi Juche, yang digagas oleh Kim Il-sung, mantan pemimpin negara ini. Juche menjadi ideologi resmi negara ketika negara ini mengadopsi konstitusi baru pada 1972,[22] kendati Kim Il-sung telah menggunakannya untuk membentuk kebijakan sejak sekurang-kurangnya awal tahun 1955.[23] Sementara resminya sebagai republik sosialis atau negara komunis, Korea Utara dipandang oleh sebagian besar negara sebagai negara kediktatoran totaliter berpaham Stalinis.[19][20][24][25][26] Setelah kematian Kim Jong-il pada tanggal 19 Desember 2011, pemimpin Korea Utara berikutnya adalah Kim Jong-un, anak termuda Kim Jong-il.
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama unstats08
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama CIAGDP(PPP)
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama CIAGDP(PPP)Capita
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama CIATelephone
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Hersher2016
A power struggle to succeed Kim Jong-il as leader of North Korea's Stalinist dictatorship may be looming after his eldest son was reported to have returned from semi-voluntary exile.
The US Government contradicted earlier North Korean claims that it had agreed to remove the Stalinist dictatorship’s designation as a terrorist state and to lift economic sanctions, as part of talks aimed at disarming Pyongyang of its nuclear weapons.
Kim Jong-il's regime needs economic concessions to avoid collapse, and just as crucially needs an end to the strategic siege imposed by the US since the end of the Korean war (1950–53). Pyongyang's nuclear brinkmanship, though potentially dangerous, is driven by fear rather than by militaristic ambition. The rotten Stalinist dictatorship faces the prospect of an implosion. Since the collapse of the Soviet Union, which deprived North Korea of vital economic support, the regime has consistently attempted to secure from the US a non-aggression pact, recognition of its sovereignty, and economic assistance. The US's equally consistent refusal to enter into direct negotiations with North Korea, effectively ruling out a peace treaty to formally close the 1950–53 Korean war, has encouraged the regime to resort to nuclear blackmail.
In this context, the constant attempts by the Western press to paint Kim Jong-il as simply a raving lunatic look, well, mad. There is no denying that the regime he presides over is a nasty Stalinist dictatorship that brutally oppresses its own population. But in the face of constant threats from the US, Pyongyang's actions have a definite rationality from the regime's point of view.
North Korea, run by a Stalinist dictatorship for almost six decades, is largely closed to foreign reporters and it is impossible to independently check today's claims.
North Korea, officially known as the Democratic People's Republic of Korea, is one of the world's most oppressive, closed, and vicious dictatorships. It is perhaps the last living example of pure totalitarianism - control of the state over every aspect of human life.
The Bush administration removed North Korea from the list of terrorist states last year as part of an unfulfilled commitment by the dictatorship to dismantle its nuclear weapons program.
Although it was in that 1955 speech that Kim gave full voice to his arguments for juche, he had been talking along similar lines as early as 1948.
Citizens of North Korea cannot change their government democratically. North Korea is a totalitarian dictatorship and one of the most restrictive countries in the world.
EVERY developing country worth its salt has a bustling middle class that is transforming the country and thrilling the markets. So does Stalinist North Korea.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "n", tapi tidak ditemukan tag <references group="n"/>
yang berkaitan