Kota Cirebon | |
---|---|
Transkripsi bahasa daerah | |
• Aksara Sunda | ᮊᮧᮒ ᮎᮤᮛᮀᮘᮧᮔ᮪ |
• Cacarakan | ꦏꦸꦛꦕꦶꦉꦧꦺꦴꦤ꧀ |
• Pegon | چيرٓبَون |
Julukan:
| |
Motto: | |
Koordinat: 6°44′23″S 108°33′11″E / 6.7396903°S 108.5529678°E | |
Negara | Indonesia |
Provinsi | Jawa Barat |
Tanggal berdiri | 4 Agustus 1950[1] |
Dasar hukum | UU Nomor 16 Tahun 1950[1] |
Hari jadi | 10 Agustus 1859 |
Jumlah satuan pemerintahan | Daftar
|
Pemerintahan | |
• Wali Kota | Agus Mulyadi (Pj.) |
• Wakil Wali Kota | lowong |
• Sekretaris Daerah | Mohammad Arief Kurniawan (Pj.) |
Luas | |
• Total | 37,36 km2 (14,42 sq mi) |
Peringkat | 92 |
Populasi | |
• Total | 354.679 |
• Peringkat | 43 |
• Kepadatan | 9,500/km2 (25,000/sq mi) |
Demografi | |
• Agama | |
• Bahasa | |
• IPM | 75,89 (2022) tinggi[3] |
Zona waktu | UTC+07:00 (WIB) |
Kode pos | |
Kode BPS | |
Kode area telepon | 0231 |
Pelat kendaraan | E |
Kode Kemendagri | 32.74 |
Kode SNI 7657:2023 | CRB |
DAU | Rp 605.092.285.000,00 (2020) |
Semboyan daerah | Berintan (Bersih, indah, tenteram, aman) |
Flora resmi | Gayam[4] |
Fauna resmi | Udang rebon |
Situs web | cirebonkota |
Kota Cirebon adalah salah satu kota yang berada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini berada di pesisir utara Pulau Jawa yang menghubungkan Jakarta dengan Surabaya di lintas utara dan tengah Jawa. Pada pertengahan tahun 2024, jumlah penduduk kota Cirebon sebanyak 354.679 jiwa, dengan kepadatan 9.194 jiwa/km2.[2][5]
Pada awalnya Cirebon berasal dari kata sarumban,[6] Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang kemudian diberi nama Caruban[7] (carub dalam bahasa Jawa artinya bersatu padu). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa di antaranya Jawa, Sunda, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat. kemudian pelafalan kata caruban berubah lagi menjadi carbon dan kemudian cirebon.
Selain karena faktor penamaan tempat penyebutan kata cirebon juga dikarenakan sejak awal mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi yang terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa Sunda: air rebon), yang kemudian menjadi cirebon.[8]