Namaskara (Buddhisme)

Lukisan di Wat Pho, Thailand, menggambarkan seorang upasaka yang sedang melakukan praktik namaskara kepada para biksu.

Namaskara (KBBI; Pali: namakkāra, paṇipāta; Sanskerta: नमस्कार, namaskāra, atau नमःकार, namaḥkāra), juga dikenal sebagai sujud, merupakan gerakan yang dipraktikkan dalam Buddhisme untuk menghormati Triratna, yakni Buddha, Dhamma, dan Sangha; atau suatu objek penghormatan lainnya.

Di kalangan umat Buddha, namaskara diyakini bermanfaat bagi para praktisi karena beberapa alasan, termasuk:

Tidak seperti tradisi agama-agama Abrahamik, praktik sujud Buddhis (namaskara) tidak dimaknai sebagai suatu praktik untuk memasrahkan diri kepada suatu objek, tetapi sebagai suatu praktik untuk menghormati suatu objek atau merenungi kualitas-kualitas yang dilambangkan oleh objek tersebut, seperti kebajikan, cinta kasih, dan kebijaksanaan.[1][2]

Berbagai pratik namaskara dilakukan sesuai aliran Buddhisme yang dianut. Dalam Buddhisme Theravāda, namaskara dipraktikkan dengan lima titik (pañca-patiṭṭhita), yaitu kaki, lutut, siku, kedua telapak tangan, dan kening/dahi menyentuh permukaan. Sebelum tersentuhnya lima titik tersebut, dilakukan pembacaan syair-syair persujudan yang dilanjut dengan diangkatnya tangan ke depan kepala (paggahetvā). Dalam Buddhisme Mahayana, namaskara diakhiri dengan memutar lengan bawah pada siku dan mengangkat telapak tangan ke arah atas. Dalam Buddhisme Vajrayana, namaskara dilakukan secara bertahap dengan mempraktikkan berbagai mudra, menjatuhkan tubuh ke depan, meluruskan tubuh di lantai, hingga merentangkan lengan ke depan. Dalam Buddhisme Barat kontemporer, beberapa guru menggunakan namaskara sebagai praktik tersendiri,[3] sementara guru-guru lain menganggap namaskara sebagai ritual liturgi adat dan pelengkap praktik meditasi.[4]

  1. ^ Uttamo, Bhikkhu (2011-11-04). "Arca Buddha". Samaggi Phala (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-10-20. 
  2. ^ "Buddhist Studies: Buddha Statues". www.buddhanet.net. Diakses tanggal 2024-10-20. 
  3. ^ Lihat, misalnya, Tromge (1995), hal. 87-96.
  4. ^ Lihat, misalnya, Aitken (1982), hal. 29-31, ia membahas ritual-ritual tersebut yang memiliki dua tujuan: "First, ritual helps to deepen our religious spirit and to extend its vigor to our lives. Second, ritual is an opening for the experience of forgetting the self as the words or the actions become one with you, and there is nothing else." (p. 29).

Developed by StudentB