Dalam ilmu filsafat, naturalisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa di alam semesta hanyalah hukum dan kekuatan alam yang berlaku (bukan hukum dan kekuatan supernatural).[1]
Menurut filsuf Steven Lockwood, naturalisme dapat dibagi dalam pengertian ontologis dan pengertian metodologis.[2] Pengertian "ontologis" merujuk pada ontologi, studi filsafat tentang apa yang ada. Secara ontologis, para filsuf sering menganggap naturalisme sama dengan materialisme. Misalnya, filsuf Paul Kurtz berpendapat bahwa alam paling baik dapat dijelaskan dengan mengacu pada prinsip-prinsip materi. Prinsip-prinsip ini meliputi massa, energi, dan sifat fisik dan kimia lainnya yang telah diterima oleh komunitas ilmiah. Lebih lanjut, pengertian naturalisme dalam perspektif ontologis menyatakan bahwa roh, dewa, dan hantu adalah tidak nyata dan tidak ada. Selain itu alam semesta ini juga tidak mempunyai "tujuan". Rumusan naturalisme yang kuat ini biasa disebut dengan naturalisme metafisik.[3] Di sisi lain, terdapat juga naturalisme metodologis, sebuah pandangan yang lebih moderat yang menyatakan bahwa naturalisme harus diasumsikan sebagai metode seseorang dengan paradigma saat ini, tanpa pertimbangan lebih lanjut apakah naturalisme benar harus dipahami dalam pengertian naturalisme metafisik atau tidak.[4]
Kecuali orang-orang panteis – yang percaya bahwa Alam identik dengan ketuhanan, namun tidak mengakui adanya tuhan antropomorfik – kaum teis menentang gagasan bahwa alam mencakup seluruh realitas. Menurut sebagian teis, hukum alam dapat dianggap sebagai penyebab sekunder dari Tuhan.
Pada abad ke-20, Willard Van Orman Quine, George Santayana, dan filsuf lainnya berpendapat bahwa keberhasilan naturalisme dalam ilmu sains berarti bahwa metode ilmiah juga harus digunakan dalam bidang filsafat. Menurut pandangan ini, ilmu pengetahuan dan filsafat tidak selalu berbeda satu sama lain, melainkan membentuk suatu kontinum.