Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
8.000.000 di Asia Tenggara (perkiraan)[1] | |
Bahasa | |
Bahasa Peranakan (asli), Indonesia, Jawa, Melayu, Tionghoa lisan, Inggris, Belanda | |
Agama | |
Buddha Mahayana, Kristen, Taoisme, Islam, Khonghucu, lainnya | |
Kelompok etnik terkait | |
Tionghoa perantauan, Jawi Peranakan |
Orang Peranakan | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Nama Tionghoa | |||||||||||
Hanzi tradisional: | 峇峇娘惹 | ||||||||||
Hanzi sederhana: | 峇峇娘惹 | ||||||||||
| |||||||||||
Nama Melayu | |||||||||||
Melayu: | Peranakan/Tionghoa Benteng/Kiau-Seng |
Orang Peranakan, Tionghoa Peranakan, atau hanya Peranakan (terkadang juga disebut "Baba-Nyonya") adalah istilah yang digunakan oleh para keturunan imigran Tionghoa yang sejak akhir abad ke-15 dan abad ke-16 telah berdomisili di kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia), termasuk Malaya Britania (sekarang Malaysia Barat dan Singapura). Di beberapa wilayah di Nusantara sebutan lain juga digunakan untuk menyebut orang Tionghoa Peranakan, seperti "Tionghoa Benteng" (khusus Tionghoa-Manchu di Tangerang) dan "Kiau-Seng" (di era kolonial Hindia Belanda).
Anggota etnis ini di Malaka, Malaysia menyebut diri mereka sebagai "Baba-Nyonya". "Baba" adalah istilah sebutan untuk laki-lakinya dan "Nyonya" istilah untuk wanitanya. Sebutan ini berlaku terutama untuk populasi etnis Tionghoa dari Negeri-Negeri Selat di Malaya kala era kolonial, Pulau Jawa yang kala itu dikuasai Belanda, dan lokasi lainnya, yang telah mengadopsi kebudayaan Nusantara - baik sebagian atau seluruhnya - dan menjadi lebih berasimilasi dengan masyarakat pribumi setempat. Banyak etnis ini yang merupakan kaum elit Singapura, lebih setia kepada Inggris daripada Tiongkok. Sebagian besar telah tinggal selama beberapa generasi di sepanjang selat Malaka dan sebagian besar telah memiliki garis keturunan dari perkawinan dengan orang Nusantara pribumi dan Melayu. Etnis Peranakan biasanya merupakan pedagang, perantara antara Inggris dan Tiongkok, atau Tionghoa dan Melayu, atau juga sebaliknya karena mereka dididik dalam sistem Inggris. Karena itu, orang Peranakan hampir selalu memiliki kemampuan untuk berbicara dalam dua bahasa atau lebih. Dalam generasi selanjutnya, banyak yang telah kehilangan kemampuan untuk berbicara rumpun bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan budaya Semenanjung Malaya dan telah berbicara lancar Bahasa Melayu sebagai bahasa pertama atau kedua.
Istilah "Peranakan" paling sering digunakan di kalangan etnis Tionghoa bagi orang keturunan Tionghoa, di Singapura dan Malaysia orang keturunan Tionghoa ini dikenal sebagai Tionghoa Selat (土生華人; karena domisili mereka di Negeri-Negeri Selat), tetapi ada juga masyarakat Peranakan lain yang relatif kecil, seperti India Hindu Peranakan (Chetti), India Muslim Peranakan (Jawi Peranakan atau Jawi "Pekan") (Abjad Jawi menjadi tulisan Arab yang telah di-Jawa-kan,[2] "Pekan" adalah istilah sehari-hari yang telah mengalami kontraksi pengucapan dari "Peranakan"[2]) dan Peranakan Eurasia (Kristang[2]) (Kristang = Kristen).[2][3] Kelompok ini memiliki hubungan paralel dengan orang Hokkian Kamboja, yang merupakan keturunan Tionghoa Hoklo. Mereka mempertahankan sebagian budaya mereka meskipun bahasa asli mereka secara bertahap menghilang beberapa generasi setelah bermukim.[4]