Perbudakan upah adalah istilah yang dikonotasikan secara negatif untuk menarik analogi antara perbudakan dan kerja upahan, dengan berfokus pada kesamaan antara memiliki dan menyewa seseorang. Biasanya digunakan untuk merujuk pada situasi di mana penghidupan seseorang tergantung pada upah atau gaji, terutama ketika ketergantungannya bersifat total dan langsung.[1][2]
Istilah "perbudakan upah" telah digunakan untuk mengkritik eksploitasi buruh dan stratifikasi sosial. Eksploitasi buruh dilihat terutama sebagai daya tawar yang tidak setara antara kerja dan modal (khususnya ketika pekerja dibayar dengan upah yang relatif rendah, seperti di sweatshop),[3] sementara stratifikasi sosial dilihat sebagai kurangnya manajemen mandiri pekerja, pilihan pekerjaan yang mencukupi, dan kelapangan dalam ekonomi.[4][5][6] Kritik terhadap stratifikasi sosial mencakup pilihan pekerjaan lebih luas yang terikat oleh tekanan masyarakat hierarkis untuk melakukan pekerjaan yang tidak mencukupi, sehingga merampas "karakter spesies" mereka,[7] tidak hanya di bawah ancaman kelaparan atau kemiskinan, tetapi juga pengurangan stigma dan status sosial.[4][8][9] Secara historis, beberapa organisasi buruh dan aktivis sosial telah mendukung manajemen mandiri pekerja atau koperasi pekerja sebagai alternatif bagi kerja upahan.[5][10]
Kesamaan antara kerja upahan dengan perbudakan dibahas sedari awal oleh Cicero pada zaman Romawi Kuno, seperti di De Officiis.[11] Dengan munculnya Revolusi Industri, pemikir seperti Pierre-Joseph Proudhon dan Karl Marx menguraikan perbandingan antara kerja upahan dan perbudakan,[12][13] sementara kelompok Luddites menekankan dehumanisasi yang disebabkan oleh mesin. Pengenalan kerja upahan pada abad ke-18 di Britania disambut dengan perlawanan, sehingga memunculkan prinsip-prinsip sindikalisme.[10][14][15][16] Sebelum Perang Saudara Amerika, negara bagian Selatan pendukung perbudakan orang Afrika-Amerika menggunakan konsep perbudakan upah untuk membandingkan kondisi budak mereka dengan pekerja di negara bagian Utara.[17][18] Amerika Serikat menghapus perbudakan setelah Perang Saudara, tetapi aktivis serikat pekerja menganggap metafora tersebut dapat digunakan - menurut sejarawan Lawrence B. Glickman, pada Era Gilda "banyak rujukan di pers buruh, dan sulit menemukan pidato pemimpin buruh tanpa frasa tersebut".[19]
XLII. Now in regard to trades and other means of livelihood, which ones are to be considered becoming to a gentleman and which ones are vulgar, we have been taught, in general, as follows. First, those means of livelihood are rejected as undesirable which incur people’s ill-will, as those of tax-gatherers and usurers. Unbecoming to a gentleman, too, and vulgar are the means of livelihood of all hired workmen whom we pay for mere manual labour, not for artistic skill; for in their case the very wage they receive is a pledge of their slavery. Vulgar we must consider those also who buy from wholesale merchants to retail immediately; for they would get no profits without a great deal of downright lying; and verily, there is no action that is meaner than misrepresentation. And all mechanics are engaged in vulgar trades; for no workshop can have anything liberal about it. Least respectable of all are those trades which cater for sensual pleasures[.]