Pertanian subsisten adalah pertanian swasembada (self-sufficiency) di mana petani fokus pada usaha membudidayakan bahan pangan dalam jumlah yang cukup untuk mereka sendiri dan keluarga. Ciri khas pertanian subsisten adalah memiliki berbagai variasi tanaman dan hewan ternak untuk dimakan, terkadang juga serat untuk pakaian dan bahan bangunan. Keputusan mengenai tanaman apa yang akan ditanam biasanya bergantung pada apa yang ingin keluarga tersebut makan pada tahun yang akan datang, juga mempertimbangkan harga pasar jika dirasakan terlalu mahal dan mereka memilih menanamnya sendiri.[1] Meski dikatakan mengutamakan swasembada diri sendiri dan keluarga, sebagian besar petani subsisten juga sedikit memperdagangkan hasil pertanian mereka (secara barter maupun uang) demi barang-barang yang tidak terlalu berpengaruh bagi kelangsungan hidup mereka dan yang tidak bisa dihasilkan di lahan, seperti garam, sepeda, dan sebagainya. Kebanyakan petani subsisten saat ini hidup di negara berkembang. Banyak petani subsisten menanam tanaman pertanian alternatif dan memiliki kemampuan bertani yang tidak ditemukan di metode pertanian maju.[2]
Pertanian subsisten pertama kali berkembang ketika Revolusi Neolitik ketika manusia pertama berdiam di lembah sungai Nil, Eufrat, dan Indus, dengan tanaman budidaya utama gandum dan barley. Pertanian subsisten juga berkembang secara terpisah dan independen di Meksiko dengan tanaman budidaya utama jagung, Pegunungan Andes dengan budidaya utama kentang, dan di Asia Tenggara dan Papua Nugini dengan tanaman budidaya utama hortikultura. Pertanian subsisten merupakan cara utama dalam memproduksi bahan pangan dunia hingga pasar berbasis kapitalisme mulai menyebar.
Pertanian subsisten saat ini terus berlanjut dengan kawasan pedesaan di Afrika sebagai lokasi utama,[3] juga kawasan di Asia dan Amerika Latin. Pertanian subsisten telah hilang di Eropa sejak permulaan Perang Dunia I, dan di Amerika Utara akibat gerakan bagi hasil pertanian (sharecropping) yang memunculkan kaum buruh tani pada tahun 1930-an dan 1940-an.[1] Hingga tahun 1950-an, masih umum terlihat keluarga petani yang bertani demi memenuhi kebutuhan keluarga sendiri dan menjual sebagian untuk membeli komoditas seperti gula, kopi, dan teh; bahan bakar minyak, produk tekstil (jarum, kancing, dan benang); obat-obatan, produk perangkat keras seperti paku, kawat, dan mur; dan barang rekreasi seperti permen dan buku. Banyak juga yang ingin membayar jasa dokter, dokter hewan, pandai besi, dan lainnya, sering kali secara barter. Di Eropa tengah dan timur, pertanian subsisten kembali muncul dalam masa ekonomi transisi pada tahun 1990-an ketika terjadi pergolakan politik dan ekonomi besar-besaran di sana (bersatunya Jerman, pecahnya Yugoslavia, dan pecahnya Uni Soviet).[4]