Populisme

Dengan retorikanya tentang "the 99%" (the people) melawan "the 1%" (elite), gerakan Occupy internasional adalah contoh dari gerakan sosial populis.
Seperti yang didefinisikan oleh Nolan Chart, populisme (dan totalitarianisme) terletak di kiri bawah.
Sebuah kartun dari tahun 1896 di mana William Jennings Bryan, seorang pendukung setia populisme, menelan lambang Partai Demokrat Amerika.

Populisme adalah sejumlah pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan "rakyat" yang sering kali dilawankan dengan kepentingan suatu kelompok yang disebut "elite". Paham ini sering dihubungkan dengan sentimen anti-kemapanan dan anti-politik.[1] Populisme mempunyai berbagai macam definisi, dan istilah ini sendiri berkembang pada abad ke-19 dan semenjak itu maknanya berubah-ubah. Di Eropa, tidak banyak politikus atau partai yang menggambarkan diri mereka sebagai "populis".

Kerangka konsep yang populer dalam menafsirkan populisme dikenal sebagai pendekatan ideasional: Ini mendefinisikan populisme sebagai ideologi prosedural yang lentur (a thin-centered ideology) yang menegaskan pembelahan tajam antara “rakyat bermoral" dan “elit korup”, mereka yang kerap diasosiasikan sebagai kelompok penindas, tamak, selalu mementingkan diri sendiri, dan mengabaikan kehendak rakyat banyak. Dengan kata lain, populisme lahir atas dasar persepsi rakyat biasa terhadap pengkhianatan elit atau sikap kontradiktif elit-elit politik yang berperilaku kontradiktif antara janji politik saat kampanye dan realisasinya pada saat berkuasa. Pendekatan ini memiliki tiga elemen dasar dalam populisme, yaitu rakyat, elit, dan kehendak rakyat yang terkhianati. Menurut pendekatan ideasional, populisme sering dikombinasikan dengan ideologi lain, seperti nasionalisme, liberalisme, atau sosialisme. Dengan demikian, populis dapat ditemukan di lokasi yang berbeda di sepanjang spektrum politik kanan kiri, dan ada populisme sayap kiri dan populisme sayap kanan.[2]

Pendekatan diskursif menekankan populisme sebagai suatu konstruksi politik akan penyatuan tuntutan atau aspirasi secara homogen dari kondisi masyarakat yang heterogen. Penyatuan aspirasi rakyat ini dikotomi antara "tuntutan rakyat" yang diabaikan oleh elit penguasa yang tidak responsif. Tuntutan ini direkatkan dengan kesaamaan narasi antar rakyat bentuk agenda politik bersama.[3] Sedangkan, pendekatan multikelas atau ekonomi politik struktural, menurut Vedi Hadiz dan Richard Robinson, pendekatan ini menekankan pada basis sosial dan material yang bersumber dari lintas kelas terhadap populisme terkait konflik atas kekuasaan dan sumber daya pada konteks historis tertentu. Pendekatan strukturalis ini mengartikan populisme sebagai ekspresi politik yang merepresentasikan koalisi antar-kelas yang asimetris dan berisi like-minded people dengan artikulasi kepentingan yang sama secara kolektif. Efeknya populisme multikelas memunculkan fenomena “penangguhan perbedaan" (suspension of difference), sebuah situasi yang merujuk pada proses homogenisasi “rakyat” dengan latarbelakang identitas masyarakat yang majemuk dan dikonfrontasikan dengan musuh politik bersama yaitu elit-elit atau entitas asing lewat wacana rivalitas atau kontestasi elektoral. Pengelompokkan siapa yang layak diartikan sebagai “rakyat”, "elit" ,atau "asing", ditentukan berdasarkan identitas politik-nya.[4][5]

Penggunaan kata "rakyat" dalam retorika populis cenderung ambigu karena diinterpretasikan oleh imajinasi kubu populis sebagai kesatuan masyarakat bermoral yang berada pada lokasi atau kelompok tertentu yang diistilahkan sebagai heartland. Umumnya, makna "rakyat" yang dimaksud populis dapat kita artikan sebagai pemilih mayoritas, khususnya “silent majority” atau kelompok mayoritas yang kecewa dan jenuh akan kondisi kehidupan dirasa semakin susah akibat terselewengnya aspirasi mereka dalam kebijakan-kebijakan krusial yang dibuat oleh politisi dominan dan elit berkuasa. Akan tetapi, pemilih mayoritas ini agak kurang melibatkan diri dalam proses politik tetapi memiliki ekspektasi besar terhadap output demokrasi. Pada tahap ini, kekecewaan pemilih terhadap elit politik menjadi rentan terhadap politisasi strategi populis. Politisi populis akan memanfaatkan keresahan mayoritas sebagai momentum untuk membangun relasi simbolik dan dukungan sosial guna meraup dukungan suara lewat penyamaan visi politik identitas, persepsi ancaman, dan penangguhan berbagai perbedaan. Dengan cara tersebut, aktor populis akan mencitrakan diri sebagai harapan baru bagi aspirasi rakyat tanpa harus repot-repot berkecimpung dalam partisipasi politik dan mekanisme demokrasi yang rumit. Sehingga, heartland menjadi penting untuk diketahui agar bisa mengidentifikasi kantong-kantong konstituensi populis, baik atas dasar identitas etnis atau agama, ideologi, karakteristik demografi, kultur politik, serta kondisi sosial ekonomi.[5]

Menurut Cas Mudde, pola strategi politik populisme kontemporer menggunakan “logika media" (media logics) yang menegaskan aspek personalisasi, emosionalisasi dan sifat anti-kemapanan dalam memenangkan dukungan konstituen.[6] Untuk memahami pola tersebut penting untuk mengetahui moda interaksi (mode of interaction) populis dalam mengkonstruksikan kesamaan kepentingan dengan konstituen yang majemuk. Moda interaksi tersebut dioperasionalisasikan melalui tiga jalur, yaitu diskursif, ideasional, ataupun material. Jalur diskursif lebih banyak mengedepankan narasi dan retorika yang menggugah emosional dan berkelindan dengan kekuatan rasional dan aksi komunikatif. Jalur ideasional merujuk pada penyerapan dukungan yang mengandalkan faktor kognitif dan emosional seperti keterkaitan emosional, afeksi personal, simpati, norma subjektif, dan keyakinan. Sedangkan, jalur material cenderung untuk mengeksploitasi soliditas jaringan/network sosio-ekonomi, kapasitas distribusi pengaruh, penyediaan bantuan finansial dan sumber daya lain. Yang paling penting untuk dicatat moda artikulasi ini juga bergantung kepada impresi dan signifikansi yang dimaknai audien. Pemahaman tersebut dapat muncul tidak hanya dari konsumsi narasi dan retorika lewat pidato dan pemikiran, tetapi juga perilaku atau tindakan termanifestasikan dalam aktivitas sehari-hari aktor populis tersebut.[5]

Para ilmuwan-ilmuwan sosial lainnya mendefinisikan populisme secara berbeda. Menurut definisi agensi yang digunakan oleh beberapa sejarawan Amerika Serikat, populisme mengacu pada keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik tanpa melibatkan lembaga perwakilan. Sebuah pendekatan yang dikaitkan dengan ilmuwan politik Ernesto Laclau melihat populisme sebagai kekuatan sosial emansipatoris di mana kelompok-kelompok marjinal menantang struktur kekuasaan dominan. Beberapa ekonom menggunakan istilah populisme berkaitan dengan sikap pemerintah yang melibatkan pengeluaran publik yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri, mengakibatkan hiperinflasi dan langkah-langkah darurat. Dalam wacana populer, istilah populisme sering digunakan secara sinonim dengan demagogi untuk menggambarkan politisi yang menghadirkan jawaban yang terlalu sederhana untuk pertanyaan-pertanyaan kompleks dengan cara yang sangat emosional atau temperamental, atau juga dengan cara oportunisnis yang berusaha untuk menyenangkan pemilih tanpa pertimbangan rasionalitas dan logis untuk mewujudkan upaya tersebut. Partai atau gerakan populis sering dipimpin oleh tokoh-tokoh karismatik yang menampilkan diri mereka sebagai wujud dari "suara rakyat".

  1. ^ Glaser, E. (2018). Anti-Politics: On the Demonization of Ideology, Authority and the State. Watkins Media. hlm. 20. ISBN 978-1-912248-12-4. Diakses tanggal 2023-04-23. 
  2. ^ Mudde, Cas (2017). Populism : a very short introduction. Cristóbal Rovira Kaltwasser. New York, NY. ISBN 978-0-19-023487-4. OCLC 947145223. 
  3. ^ Laclau, Ernesto (2005). On populist reason. London: Verso. ISBN 1-85984-651-3. OCLC 60796095. 
  4. ^ Hadiz, Vedi R; Robison, Richard (2017-09-01). "Competing populisms in post-authoritarian Indonesia". International Political Science Review (dalam bahasa Inggris). 38 (4): 488–502. doi:10.1177/0192512117697475. ISSN 0192-5121. 
  5. ^ a b c Margiansyah, Defbry (2019-06-28). "Populisme di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan Populisme dan Konsekuensinya dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu 2019". Jurnal Penelitian Politik (dalam bahasa Inggris). 16 (1): 47–68. doi:10.14203/jpp.v16i1.783. ISSN 2502-7476. 
  6. ^ Mudde, Cas (2007). Populist radical right parties in Europe. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ISBN 978-0-511-34249-3. OCLC 181218273. 

Developed by StudentB