Sejarah Nusantara pada era kerajaan Kristen

Kerajaan Kristen di Nusantara diperkirakan kejayaannya berlangsung dari abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Kristen dari Portugis dan Spanyol.[1]

Pada tahun 1901, lahir politik etis yang memberikan pengaruh sangat besar bagi daerah jajahan Belanda termasuk Hindia Belanda dan salah satu dampak yang diberikan adalah munculnya zending. Zending adalah usaha-usaha untuk menyebarkan agama Kristen Protestan. Zending masuk ke nusantara melalui beberapa gelombang. Pada gelombang pertama masuknya zending ke Nusantara dibawa oleh bangsa Inggris dan Belanda pada abad ke-17 lebih tepatnya oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).[2]

Kemajuan terlihat setelah diperkenalkan pendidikan, kesehatan, pengenalan cara berpakaian, sikap/tingkah laku, penataan kampung, jalan serta kebersihan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berakibat pula timbulnya kesadaran baru tentang identitas masyarakat pada masa kolonial. Perubahan-perubahan dalam berbagai bidang kehidupan yang diperkenalkan oleh pihak penginjil UZV (Utrechtsche Zendings Vereeniging) yang berasal dari Belanda yang mengarah pada kemajuan membuat masyarakat tertarik untuk ikut menganut agama Kristen dan mengalami perubahan sosial budaya.[3]

Pada tahun 1563, Kesultanan Ternate dibawah kepemimpinan Sultan Hairun mempersiapkan anaknya Sultan Baabullah untuk menyebarluaskan kekuasaan dan memberi pengaruh Islam ke Sulawesi Utara. Tetapi, Henriques de Sa, sebagai penguasa Portugis telah mendahuluinya dan mengirim satu armada kecil dengan seorang imam yaitu Diego de Magelhaes ke Sulawesi Utara dengan tujuan akhirnya adalah Toli-Toli. Imam ini memberikan pengajaran selama 14 hari penuh dan membaptis Raja Manado serta Raja Siau karena ia kebetulan sedang berada di Manado pada saat itu. Situasi politik memberikan pengaruh yang kuat dalam penyebaran Injil di daerah Nusa Utara. Tetapi, penyebaran Injil secara khusus Katolik mengalami kemerosotan yang sangat jauh. Banyak orang yang sudah di baptis tetapi tidak mendapat pelayanan lanjutan karena dalam perhitungan secara ekonomis daerah Nusa Utara belum terlalu menghasilkan dibandingkan dengan daerah Maluku, maka para penguasa zaman itu lebih tertarik untuk tinggal di Ambon dan Ternate ataupun Tidore.[4] Kehadiran bangsa Eropa (khususnya Portugis) ke Maluku pada umumnya dan Ternate khususnya, rempah-rempah hanya sebagai sampingan dan penyebaran agama Kristen merupakan hal yang sangat penting. Portugis memanfaatkan Ternate sebagai wilayah penghasil rempah-rempah di dunia untuk mengenalkan agama Kristen kepada orang Ternate, baik dari kalangan awam maupun kalangan petinggi Kesultanan Ternate, maupun kerajaan-kerajaan lain di wilayah Jazirah Moloku Kie Raha.[5]

Adapun Kerajaan Larantuka sebagai salah satu kerajaan Kristen terbesar di Indonesia. Kota Larantuka memiliki ciri identitas sebagai kampung tradisional Lamaholot yang pada masa lalu merupakan kawasan yang dihuni oleh golongan kakang nuba (pendamping raja) pada masa itu.[6] Penyebutan nama Kota Larantuka sebagai kota milik Bunda Maria (Kota Reinha) diawali pada tahun 1845, ketika Raja Larantuka bernama Olla Adobala dibaptis oleh Imam Katolik Portugis dan diberi nama DVG (Don Fransisco Olla Adobala Diaz Viera Ghodinho).[7] Penyerahan diri Raja Larantuka dalam sakramen pembaptisan disertai dengan simbol penyerahan tongkat emas Kerajaan Larantuka kepada Tua Ma (sebutan masyarakat lokal kepada sosok Bunda Maria Reinha Rosari) yang mengartikan bahwa Kota Larantuka sepenuhnya menjadi "Kota Reinha" (ratu) dan para raja merupakan wakil atau abdi dari Tua Ma.[8]

Sekitar tahun 1800, keadaan gereja di Indonesia memprihatinkan. Jumlah anggota-anggotanya selama dua abad hampir tidak bertambah. Pada abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 diletakkanlah dasar gereja-gereja Indonesia yang ada sekarang seperti di wilayah pulau Jawa. Pada zaman perang kemerdekaan, gereja juga memberikan kontribusinya dalam kehidupan bermasyarakat. Gereja-gereja pada zaman ini seperti Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja Reformasi Indonesia (GRI), dan Gereja Isa Almasih (GIA) telah berasimilasi dalam kehidupan rakyat sehari-hari dan menjadi bagian dari perjalanan bangsa Indonesia sampai hari ini.[9]

  1. ^ barta1.com[pranala nonaktif permanen]
  2. ^ Pradewi et al 2019, hlm. 154-155.
  3. ^ Ahmad 2014, hlm. 84.
  4. ^ Takaliuang 2019, hlm. 5-6.
  5. ^ Nomay 2014, hlm. 125.
  6. ^ Subanpulo 2012, hlm. 247.
  7. ^ Mulyati 2019, hlm. 207-208.
  8. ^ Lake et al 2020, hlm. 87.
  9. ^ Kesuma dan Sholeh 2019, hlm. 69.

Developed by StudentB