Serangan udara di Jepang

Serangan udara di Jepang
Bagian dari Perang Pasifik, Perang Dunia II
Black and white photo of three multi-engined aircraft flying in formation while dropping a large number of bombs
Pesawat pengebom B-29 Superfortress menjatuhkan bom pembakar atas kota Yokohama bulan Mei 1945[1]
Tanggal18 April 1942 – 15 Agustus 1945
LokasiKepulauan Jepang
Hasil Kemenangan Sekutu
Pihak terlibat
 Amerika Serikat
 Britania Raya
 Republik Tiongkok (1912–1949)
 Kekaisaran Jepang
Pasukan
Amerika Serikat Angkatan Laut Amerika Serikat
Amerika Serikat Angkatan Darat Amerika Serikat
Britania Raya Angkatan Laut Britania Raya
Republik Tiongkok Angkatan Udara Republik Tiongkok
Kekaisaran Jepang Kekaisaran Jepang
Korban
Amerika Serikat 614 pesawat, lebih dari 3.000 tentara tewas[2] Sekitar 241.000 hingga 900.000 warga sipil terbunuh
103.900 tentara tewas[3]
4.200 pesawat[4]

Pasukan Sekutu banyak melancarkan serangan udara di Jepang selama Perang Dunia II, menyebabkan kerusakan yang luas ke berbagai kota di negara tersebut dan menewaskan antara 241.000 hingga 900.000 orang. Serangan udara atas Jepang telah terjadi sejak tahun-tahun pertama Perang Pasifik yang dipicu oleh serangan Jepang terhadap pangkalan Amerika Serikat di Pearl Harbor. Awalnya serangan ini hanya terbatas dengan Serangan Doolittle pada bulan April 1942 dan serangan skala kecil lainnya pada posisi militer di Kepulauan Kuril sejak pertengahan 1943. Serangan pengeboman strategis mulai dilancarkan sejak bulan Juni 1944 dan terus berlanjut sampai akhir perang pada bulan Agustus 1945. Unit udara taktis sekutu dari angkatan laut dan darat juga menyerang Jepang selama 1945.

Kampanye udara militer Amerika Serikat mulai menggalakkan serangan udara terhadap Jepang sejak pertengahan tahun 1944 dan serangan semakin dilancarkan secara intensif selama bulan-bulan terakhir perang. Sementara rencana serangan tersebut telah disiapkan jauh-jauh hari sebelum Perang Pasifik, tetapi rencana itu tidak bisa dilaksanakan hingga pengebom jarak jauh B-29 Superfortress siap melakukan tugas tersebut. Dari bulan Juni 1944 hingga Januari 1945, beberapa pengebom B-29 yang ditempatkan di India dipindahkan ke pangkalan di Tiongkok untuk membuat serangkaian penyerangan terhadap Jepang, tetapi upaya ini tidak pernah berhasil.

Kampanye pengeboman strategis semakin diperluas sejak November 1944 ketika pangkalan di Kepulauan Mariana telah tersedia, ini merupakan salah satu alasan dari Kampanye Kepulauan Mariana.[1] Serangan ini awalnya hanya berusaha untuk menargetkan fasilitas industri, tetapi sejak Maret 1945 serangan umumnya ditujukan terhadap wilayah perkotaan dikarenakan proses pembuatan senjata dan perlengkapan perang Jepang banyak dilakukan di bengkel-bengkel kecil dan rumah-rumah pribadi. Pesawat yang terbang dari kapal induk Sekutu dan Kepulauan Ryukyu juga semakin gencar menghantam target di Jepang selama tahun 1945 dalam persiapan untuk melaksanakan invasi darat yang direncanakan akan mendarat di Jepang dijadwalkan pada Oktober 1945. Pada pertengahan Agustus 1945, kota Hiroshima dan Nagasaki dikejutkan dan sebagian besar hancur oleh bom atom.

Minimnya jumlah pesawat tempur dan senjata anti-pesawat yang dioperasikan untuk tugas pertahanan di pulau-pulau Jepang membuat pertahanan militer dan sipil Jepang tidak dapat menghentikan serangan Sekutu. Akibatnya, pengebom B-29 dengan mudah mampu menimbulkan kerusakan yang parah pada daerah perkotaan sementara hampir seluruh wilayah negeri Jepang juga menderita sebagai dampak dari serangan udara. Sebenarnya Jepang telah menyiagakan pesawat tempur untuk menghadang serangan udara dari pengebom B-29, tetapi sering kali pesawat-pesawat tempur Jepang terkendala kekurangan bahan bakar dan minimnya kemampuan pilot untuk melakukan tugas penghadangan. Selain itu kurangnya koordinasi dalam militer Jepang membuat operasi pertahanan udara Jepang menjadi tidak efektif. Kemampuan pengebom B-29 yang terbang pada ketinggian yang sulit dijangkau oleh pesawat dan senjata defensif Jepang juga merupakan salah satu pukulan yang cukup berat bagi militer Jepang. Besarnya dampak kerusakan juga disebabkan oleh minimnya layanan pemadam kebakaran yang memadai di wilayah-wilayah perkotaan yang rentan serangan udara. Jepang juga tidak menyediakan tempat perlindungan serangan udara yang cukup untuk warga sipil, sehingga menyebabkan tingginya jumlah korban warga sipil.

Pengeboman Sekutu adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keputusan pemerintah Jepang untuk menyerah pada pertengahan Agustus 1945. Meskipun telah terjadi perdebatan panjang yang terus berlangsung atas moralitas serangan terhadap kota-kota Jepang. Yang paling kontroversial adalah penggunaan senjata atom yang dierkirakan menjatuhkan korban di pihak Jepang sebanyak 333.000 tewas dan 473.000 luka-luka (mayoritas warga sipil). Ada beberapa perkiraan lain tentang jumlah korban jiwa, tetapi dipastikan jumlahnya berkisar antara 241.000 sampai 900.000. Selain korban jiwa sebagian besar warga sipil, serangan juga menyebabkan kerusakan yang luas di berbagai kota Jepang dan menyebabkan penurunan besar dalam produksi industri.

  1. ^ a b Wolk (2004), p. 72
  2. ^ Kerr (1991), p. 276
  3. ^ 大東亜戦争に於ける地域別兵員数及び戦没者概数 Ministry of Health and Welfare, 1964.
  4. ^ Coox (1994), p. 417

Developed by StudentB