Bagian Seri Agama di |
Shinto |
---|
Praktik dan keyakinan |
Kuil Shinto |
Kami Penting |
Literatur Penting |
Lihat juga |
Agama |
Shinto (神道 , Shintō, secara harfiah bermakna "jalan Tuhan") adalah sebuah agama yang berasal dari Jepang.[2] Para cendekiawan keagamaan menggolongkannya sebagai agama Asia Timur; mereka yang menjalankan praktik keagamaannya (praktisi) sering menganggapnya sebagai agama asli Jepang dan agama alam. Para cendekiawan terkadang menyebut para praktisi sebagai "penganut Shinto" walau para penganut sendiri jarang menggunakan istilah tersebut. Shinto tidak dikendalikan oleh suatu otoritas pusat, para praktisi memiliki keyakinan dan praktik keagamaan yang beraneka ragam.
Shinto termasuk agama politeistik dengan kami, entitas supernatural yang diyakini menghuni segala sesuatu, sebagai bagian esensial kepercayaan. Kami dapat berada dalam kekuatan alam dan lokasi lanskap yang terkemuka. Hubungan antara kami dan alam menyebabkan Shinto dianggap animistik. Penyembahan kami dilakukan di altar rumah tangga kamidana, kuil keluarga, dan kuil umum jinja. Kuil umum tersebut dikelola oleh para pendeta, yang dikenal sebagai kannushi. Mereka mengelola persembahan makanan dan minuman untuk kami tertentu yang dipuja di lokasi tersebut. Hal itu dilakukan untuk menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan kami serta untuk meminta berkah darinya. Ritual umum lainnya termasuk tari kagura, ritus peralihan, dan festival musiman. Kuil umum menyediakan perlengkapan keagamaan seperti jimat untuk para penganut Shinto dan memfasilitasi berbagai bentuk ramalan. Shinto menempatkan fokus konseptual utama pada pemastian kesucian, sebagian besar dengan praktik pembersihan seperti ritual mandi dan basuh, terutama sebelum ibadah. Sedikit penekanan ditempatkan pada kode moral tertentu atau keyakinan kehidupan setelah kematian tertentu meskipun orang yang meninggal dianggap mampu menjadi kami. Shinto tidak memiliki pencipta tunggal atau teks doktrinal tertentu, agama itu hadir dalam bentuk khas lokal dan regional yang beraneka ragam.
Meskipun waktu Shinto menjadi agama tersendiri dalam sejarah masih diperdebatkan, penyembahan kami dapat ditelusuri kembali pada Zaman Yayoi (300 SM-300 M) di Jepang. Ajaran Buddha masuk ke Jepang pada akhir Zaman Kofun (300-538 M) dan menyebar dengan cepat. Sinkretisasi agama membuat penyembahan kami dan ajaran Buddha tidak dapat dipisahkan secara fungsional, proses itu disebut shinbutsu-shūgō. Kami mulai dipandang sebagai bagian dari kosmologi Buddha dan selanjutnya semakin digambarkan dengan antropomorfisme. Tradisi tertulis paling awal mengenai penyembahan kami tercatat dalam Kojiki dan Nihon Shoki dari abad ke-8. Pada abad-abad berikutnya, shinbutsu-shūgō diadopsi oleh keluarga Kekaisaran Jepang. Selama Zaman Meiji (1868-1912), kepemimpinan nasionalis Jepang memisahkan pengaruh penganut Buddha dari penyembahan kami dan membentuk Shinto negara. Ideologi Shinto negara Jepang tersebut dianggap oleh sejumlah sejarawan sebagai asal usul Shinto sebagai agama tersendiri. Kuil berada di bawah pengaruh pemerintah yang berkembang dan masyarakat didorong untuk menyembah kaisar sebagai kami. Dengan terbentuknya Kekaisaran Jepang pada awal abad ke-20, Shinto disebarkan keluar ke wilayah lain di Asia Timur. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Shinto secara resmi dipisahkan dari negara.
Shinto terutama ditemukan di Jepang, wilayah yang menampung sekitar 100.000 kuil umum walau para praktisi juga ditemukan di luar negeri. Secara numerik, agama tersebut merupakan agama terbesar di Jepang, diikuti oleh ajaran Buddha. Sebagian besar penduduk negara tersebut turut berpartisipasi dalam baik kegiatan Shinto maupun Buddha, terutama festival. Fenomena itu mencerminkan pandangan umum dalam budaya Jepang bahwa kepercayaan dan praktik suatu agama tidak harus dilakukan hanya oleh golongan tertentu. Aspek-aspek dari Shinto juga dimasukkan ke berbagai gerakan agama baru di Jepang.