Teodisi Agustinus

Augustine, (lukisan Botticelli), yang dianggap pengembang pertama bentuk teodisi ini.

Teodisi Agustinus (bahasa Inggris: Augustinian theodicy) adalah suatu bentuk teodisi Kristen yang membahas masalah kejahatan. Pertama kali dibedakan sebagai suatu bentuk teodisi oleh John Hick dalam Evil and the God of Love, yang ditulis pada tahun 1966, dimana ia menggolongkan teodisi Agustinus dan perkembangan selanjutnya sebagai "Augustinian". Hick membedakan antara teodisi Agustinus, yang mencoba membebaskan Allah dari segala tanggung jawab kejahatan, berdasarkan kebebasan kehendak, dengan Teodisi Irenaeus, yang menggambarkan Allah bertanggung jawab atas kejahatan tetapi dibenarkan karena bermanfaat untuk perkembangan manusia.[1]

Teodisi ini muncul sebagai respons terhadap persoalan yang berkaitan dengan adanya kejahatan,[2] yang menimbulkan pertanyaan jika Allah itu Mahakuasa dan Maha Pemurah, pasti tidak ada kejahatan di dunia. Bukti adanya kejahatan mempertanyakan hakikat Allah atau keberadaan-Nya – bahwa Allah itu mungkin tidak Mahakuasa, tidak Maha Pemurah, atau tidak ada.[3] Teodisi merupakan suatu upaya untuk menyelaraskan keberadaan dan hakikat Allah dengan adanya kejahatan di dunia dengan memberi penjelasan yang valid mengenai kejadiannya.[2] Teodisi Agustinus menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia ex nihilo (dari nol; dari kehampaan), tetapi Allah tidak menciptakan kejahatan dan tidak bertanggung jawab atas kemunculannya.[4] Kejahatan tidak dianggap muncul dengan sendirinya, melainkan sebagai "kehilangan" kebaikan – yaitu rusaknya ciptaan Allah.[5]

Teodisi Agustinus ini mendukung pandangan dosa asal. Semua versi teodisi ini menerima tafsiran harfiah dari kisah penciptaan pada Kitab Kejadian, termasuk keyakinan bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, tanpa dosa maupun tanpa penderitaan. Kejahatan diyakini merupakan hukuman yang adil untuk kejatuhan manusia ke dalam dosa: ketika Adam dan. Hawa pertama kali melanggar perintah Allah dan diusir keluar dari Taman Eden.[6] Kebebasan berkehendak umat manusia oleh Teodisi Agustinus dianggap merupakan alasan berkelanjutan untuk kejahatan moral: orang melakukan perbuatan amoral atau bejat ketika kehendak mereka itu jahat.[2] Sifat manusia yang jahat disebabkan oleh dosa asal; para teolog Agustinian berpendapat bahwa dosa Adam dan Hawa merusak kehendak umat manusia,[7] dan mempertahankan bahwa Allah tidak bersalah dan Allah itu baik, dan Ia tidak bertanggung jawab atas adanya kejahatan.[8]

  1. ^ Hall 2003, hal. 132
  2. ^ a b c Svendsen & Pierce 2010, hal. 48–49
  3. ^ Tooley, Michael (16 September 2002; substantial revision 21 August 2009). "The Problem of Evil". Stanford Encyclopedia of Philosphy. Diakses tanggal 8 February 2012. 
  4. ^ Bennett, Peters, Hewlett & Russell 2008, hal. 126
  5. ^ Menn 2002, hal. 170
  6. ^ Corey 2000, hal. 177–178
  7. ^ Green 2011, hal. 779
  8. ^ Geivett 1995, hal. 19

Developed by StudentB