Babilonia 𒆳𒆍𒀭𒊏𒆠 Māt Akkadī | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1895 SM–539 SM | |||||||||||
Luas wilayah Kerajaan Babilonia pada awal dan akhir masa pemerintahan Hamurabi, sekarang termasuk wilayah negara Kuwait dan Irak | |||||||||||
Ibu kota | Babilon | ||||||||||
Bahasa resmi | |||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | bahasa Akkadia Bahasa Aram | ||||||||||
Agama | Agama Babilonia | ||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• Didirikan | 1895 SM | ||||||||||
539 SM | |||||||||||
| |||||||||||
Sekarang bagian dari | |||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Irak |
Mesopotamia Kuno |
Zaman klasik |
Abad Pertengahan |
Zaman modern awal |
Irak Modern |
Babilonia (bahasa Yunani: Βαβυλωνία, Babilonia), lengkapnya disebut Kekaisaran Babilonia atau Negeri Babilonia, adalah negara dan daerah kebudayaan purba penutur bahasa Akkadia yang berlokasi di tengah kawasan selatan Mesopotamia (sekarang Irak dan Suriah). Pada 1894 SM, bangsa Amori mendirikan sebuah negara kecil dengan wilayah kedaulatan yang juga mencakup kota administratif Babilon.[1] Pada zaman Kekaisaran Akkadia (2335–2154 SM), Babilonia hanyalah sebuah kota kecil di salah satu daerah bawahan. Keadaan ini berubah pada zaman Kekaisaran Babilonia Lama. Babilonia Pada masa pemeritahan Hamurabi, Babilonia diperbesar dan dijadikan ibu kota. Sepanjang maupun sesudah masa pemerintahan Hamurabi, Babilonia disebut "Negeri Akkadia" (bahasa Akkadia: Māt Akkadī) untuk mengenang kegemilangan Kerajaan Akkadia yang sudah lampau.[2][3]
Dalam Alkitab Kristen dan Alkitab Ibrani/Tanakh, kedua negara Babilonia dan ibu kota Babilon disebut sebagai Babel, atau lengkapnya Negeri Babel. Istilah "Babel" (bahasa Ibrani: בָּבֶל Bavel, Tib. בָּבֶל Bāḇel; bahasa Suryani: ܒܒܠ Bāwēl, bahasa Aram: בבל Bāḇel; dalam bahasa Arab: بَابِل Bābil) ditafsirkan dalam Kitab Kejadian sebagai "kekacaubalauan",[4] dari kata kerja bilbél (בלבל, "mengacaubalaukan").[5]
Babilonia kerap terlibat persaingan dengan Kerajaan Asyur di utara dan Kerajaan Elam di timur. Meskipun tidak bertahan lama, Babilonia sempat menjadi kekuatan utama di kawasan Mesopotamia sesudah Hamurabi (berkiprah ca. 1792–1752 SM menurut Kronologi Menengah atau ca. 1696–1654 SM menurut Kronologi Pendek) sebuah kekaisaran baru, penerus jejak kegemilangan Kekaisaran Akkadia, Kekaisaran Sumeria Baru, dan Kekaisaran Asyur Lama. Tidak lama sesudah Hamurabi mangkat, Kekaisaran Babilonia mengalami kemerosotan dan kembali menjadi kerajaan kecil.
Sama seperti Asyur, Kerajaan Babilonia melestarikan bahasa tulis Akkadia (bahasa masyarakat pribumi) untuk urusan-urusan resmi, meskipun raja-raja pendiri adalah orang-orang Amori penutur bahasa rumpun Semit Barat Laut dan raja-raja penerus adalah orang-orang Kasi penutur salah satu bahasa terasing. Kerajaan Babilonia juga melestarikan bahasa Sumeria untuk urusan-urusan keagamaan (demikian pula Kerajaan Asyur), meskipun bahasa Sumeria tidak lagi menjadi bahasa tutur pada waktu Kerajaan Babilonia didirikan, karena sudah sepenuhnya tergantikan oleh bahasa Akkadia. Adat-istiadat bangsa Akkadia dan bangsa Sumeria dari masa lampau menjadi unsur utama di dalam budaya Babilonia dan budaya Asyur. Wilayah Babilonia pun tetap menjadi pusat utama kebudayaan, bahkan sesudah Kerajaan Babilonia dijajah negara lain.
Peninggalan tertulis paling tua yang menyebut-nyebut keberadaan kota Babilon adalah sekeping loh lempung dari masa pemerintahan Raja Sargon Agung (2334–2279 SM) sekitar abad ke-23 SM. Ketika itu Babilon hanya sebuah kota agama dan budaya, belum menjadi sebuah kota besar apalagi sebuah negara kota merdeka. Kota Babilon ketika itu tunduk kepada Kekaisaran Akkadia, negara yang mempersatukan seluruh masyarakat penutur bahasa Akkadia dan bahasa Sumeria di bawah satu pemerintahan. Sesudah Kekaisaran Akkadia tumbang, kawasan selatan Mesopotamia dikuasai orang Guti beberapa puluh tahun sebelum berdirinya Kekaisaran Sumeria Baru, yang menguasai seluruh Mesopotamia (kecuali kawasan utara wilayah Asyur), termasuk kota Babilon.